Strive for Excellence

Wednesday, November 21, 2007
Free Image Hosting at www.ImageShack.us

I'm back! "Strive for exellence, not perfection" Kita berjuang untuk memberikan yang terbaik, bukan yang paling sempurna. Mankind could only propose, but God dispose.

Tidak sedikit orang yang terjebak pada perfeksionisme. Bagaimanapun sempurnanya perbuatan seorang manusia, ia tetaplah manusia. Kemauan dan hasrat untuk menjadi sempurna pada akhirnya hanya akan membenamkan "majikan"-nya dalam utopia.

Dengan kata lain, "strive for excellence, not perfection" adalah bertindak secara realistis. Sesuai dengan kodrat manusia. Sesuai dengan kadar yang ia punyai. Tapi bukan sekedar...

Wa'lLâhu a‘lam bi's shawâb. Selanjutnya

Rendesvouz

Thursday, November 1, 2007
All praises be to Allah Swt who gift me chance and open my eyes towards a greater world, greater peoples.


Cairo International Park
28 October 2007 Selanjutnya

Cakrawala Wallpaper

Wednesday, October 24, 2007
Free Image Hosting at www.ImageShack.us

My tribute to Cakrawala Bulletin, my layouting debut. The first place I found a harmony. The peoples I am trying to learn from them. The friends whom I'll always remember... Selanjutnya

Tanafuz di Persimpangan Jalan

Monday, October 8, 2007
11 November 2006, tanggal bersejarah yang tak akan terhapus dari memori kita masing-masing. Memasuki bulan kesebelas —terhitung sejak kedatangan kita—, dengan mudah kita bisa menemukan nama rekan Tanafuz baik di IKPM sebagai almamater sekaligus induk Tanafuz, kekeluargaan, afiliatif, senat, PPMI dan beberapa organisasi lain. Ini menandakan bahwa personal Tanafuz bisa dibilang cukup mewarnai pergerakan di Masisir.

Jika kita menoleh ke belakang, Tazkia Fi nailil Fauz boleh dikata memiliki sejarah yang istimewa. Perdebatan alot yang menghiasi penamaan marhalah antara Tazkiyah dan Nailil Fauz menggambarkan motivasi masing-masing pihak (Lih.: Cakrawala Ed.I th.4). Mau ke mana dan apa yang mereka rencanakan untuk marhalah. Shakespeare dalam Hamlet-nya boleh saja bilang, apalah arti sebuah nama. Namun bagi orang yang mempunyai misi, dan tujuan, nama bisa menjadi barang fatal. Sebab menurut hemat penulis, nama mencerminkan keinginan dan tujuan final yang ingin dicapai. Dengan kata lain, saat terjun ke dalam organisasi marhalah ini, setiap personal Tanafuz mempunyai idealisme masing-masing untuk maju ke depan.

Selanjutnya, memelihara idealisme adalah tantangan bagi Tanafuz. Apalagi Tanafuz bisa dikata organisasi plural, anggotanya datang dari latarbelakang yang berbeda. Seperti angkatan kelulusan, pondok almamater, dan daerah. Tantangan pertama yang dihadapi adalah menyatukan sekian banyak suara dan jangan sampai idealisme tersebut diseret kepada kepentingan unsur tertentu. Namun dengan perkumpulan bulanan sebagai ajang silaturrahim dan sosialisasi program sekaligus penyamaan persepsi, keluarga Tanafuz yang plural bisa disatukan, tidak tersekat-sekat dalam kotak sempit, lalu berjalan terseok dan jatuh.

Waktu berlalu dan dinamitas Tanafuz berdetak kencang. Terhitung sejak liburan musim panas dimulai hingga sekarang, beberapa acara yang diadakan dari level almamater, kekeluargaan, hingga masisir sedikit banyak melibatkan anggota Tanafuz, langsung maupun tak langsung.

Dinamitas ini membuka potensi bagi Tanafuz untuk menjadi lebih daripada sekedar marhalah. Keakraban dan kemiripan kultur menjadi keunggulan tersendiri untuk menjalin harmoni lintas kekeluargaan, afiliatif, almamater, dan senat. Tinggal bagaimana kita membangun sinergi antar organisasi —lintas kekeluargaan, lintas afiliatif— demi kepentingan yang lebih besar lagi. Hingga akhirnya tercipta sebuah harmoni umum dalam skup yang luas.

Sebaliknya, derasnya gerakan Tanafuz sedikit banyak memecah konsentrasi personelnya. Kekhawatiran mulai muncul takut-takut kalau marhalah tidak bisa selancar tahun ini. Hal tersebut bisa diraba, terbukti dalam beberapa agenda belakangan panitia agak susah dikumpulkan. Padahal anggota IKPM terkenal paling loyal.

Ada beberapa faktor yang memicu terjadinya fenomena ini. Di antaranya, masing-masing mulai memikirkan masa depan dan memilih medium untuk berkembang. Sejalan dengan apa yang dipahami dari dan mengenai ego (jati diri). Pondok juga mengenalkan kita kepada “jaros”, agar para santrinya sadar, harga hidup tidak semurah “sekedar” mengikuti arus atau formalitas. Mental-mental li ajli inilah yang selalu diberantas oleh pondok. Salah satu adagium yang masih saya rekam baik-baik, “jangan hanya ikut jaros”.

Marhalah sebagai organisasi juga tidak bijak apabila bersikap egois. Yaitu dengan membakukan anggotanya dalam satu bentuk. Sebab fungsi utama marhalah sendiri adalah tempat untuk silaturahim. Toh tidak mungkin suatu organisasi—apapun itu—bisa mengakomodir semua kebutuhan seluruh anggotanya. Di sinilah perlu adanya pengertian untuk saling “berbagi”.

Namun di sisi lain, hendaknya sense of belonging (rasa kepemilikan) terhadap marhalah harus tetap dijaga. Mengingat kesibukan setiap individu yang semakin kompleks dan semakin menjurus pada spesialisasi masing-masing, bukannya tidak mungkin marhalah tersisih. Oleh karena itu, setidaknya kegiatan yang mempu mengikat emosi anggota seperti perkumpulan bulanan, sepakbola, dan musik dipertahankan menjadi agenda tetap marhalah ke depan.

Akhirnya, eksistensi Tanafuz kembali pula kepada figur pemimpinnya. Hari ini Sabtu, 6 Oktober 2007 di Griya Jawa Tengah, Tanafuz memasuki momen yang krusial dan menentukan dalam perjalanannya sebagai marhalah. Kesalahan mengambil keputusan bisa saja berdampak fatal di kemudian hari. Tanafuz akan semakin maju atau justru berakhir.

Mungkin tulisan ini terlalu muluk, atau terlampau dangkal dalam menganalisa permasalahan. Namun paling tidak bisa menjadi stimulan kita agar bisa berbuat lebih banyak. I‘malû fawqa mâ ‘amilû. Wa’lLâhu a‘lamu bi’s shawâb.

*Tulisan dimuat di Buletin Cakrawala edisi terakhir, Oktober 2007. Selanjutnya

My Way

Friday, September 21, 2007
Free Image Hosting at www.ImageShack.us

Gambar latarnya diambil dari Hadiqah Azhar. Pas kumpul redaksi Buletin Cakrawala. Lumayan tiketnya 5 pound. Padahal perkiraan awal cuman 2-3 pound. Terpaksa nambah deh, hehe.

Dibuat dengan Photoshop CS2, dihiasi dengan brush dari Brusheezy. Met download ;) Selanjutnya

Purity

Sunday, September 16, 2007
Free Image Hosting at www.ImageShack.us
Iseng-iseng bikin wallpaper. Lagi suntuk, tapi hasilnya jadi berguna, hehehe..
Selanjutnya

Adding

Wednesday, September 12, 2007
Suatu pagi di Masjid Azhar, orang-orang Mesir masih terlelap di buaian hangat mentari. Entah apa yang mereka lakukan semalam. Beberapa orang merebahkan dirinya di sudut masjid. Yang lain lebih memilih untuk menikmati kehangatan matahari musim panas.

Dahulu, waktu masih di pondok, tidur pagi dilarang. Yang nekat melakukan dan ketahuan terkadang disemprot di tempat. Setelah itu, disuruh teriak-teriak di depan rayon. Kalau tidak begitu, berdiri setengah jam-an di pinggir jalan. Salah seorang ustadz pernah berkata, "naumatus shubhi tuuritsu-l-faqra," tidur pagi meyebabkan faqir. Bukan masalah apa maksud hadits tersebut. Tidak tidur pagi bukanlah sesuatu yang buruk. Tak ada salahnya menurut.

Tak lama kemudian sepasang turis lewat. Yang perempuan terlihat memakai 'jilbab' ala kadarnya dengan kacamata hitam bertengger di hidung. Sementara sang laki-laki memakai kaos dengan celana tiga perempat khas musim panas. Dari perawakan mereka, saya hanya bisa menebak kalau mereka dari Eropa.

Sejenak mereka melirik ke arah tubuh-tubuh yang terbujur di atas lantai. Entah apa yang terlintas di benak mereka. Heran atau kaget? Saya jadi teringat cerita seorang warga negara Swedia, teman kakakku di Bali. Sejak kecil dia terbiasa bekerja keras. Tidur sehari semalam dijatah hanya 4 jam. Secara terbuka, orang Swedia tersebut menyatakan keheranannya terhadap sikap orang-orang Indonesia yang dia nilai 'terlalu santai'. Terlalu banyak waktu yang dihamburkan. Lalu apa yang kira-kira akan dia katakan jika melihat fenomena ini?

Saat ini, umat Islam sedang tergopoh-gopoh mengejar ketertinggalannya dari Barat dari beberapa segi. Kuantitas muslim yang nomor dua di dunia setelah Kristen tak jua membuat kita mampu mensejajarkan diri dengan Barat. Malah pandangan kita silau oleh kemajuan mereka. Timur tengah dengan milyaran barel minyaknya yang sempat membuat mata Amerika ijo, Indonesia sang Zamrud Khatulistiwa, sistem ekonomi Islam yang terbukti unggul tak juga bisa mendongkrak taraf kehidupan umat Islam.

Jika umat Islam adalah khaira ummatin ukhrijat linnas, mengapa sekarang mereka tertinggal? Apakah Islamnya yang salah? Eit, tunggu dulu, tak ada agama yang diterima di sisi Allah selain Islam. Fenomena ini lebih terlihat sebagai masalah mental umat Islam sendiri.

Islam mengajarkan pemeluknya untuk sedemikian rupa menghargai waktu. Waktu tidak hanya diukur dengan materi seperti pepatah barat "the time is money", tapi lebih dari itu "al waqtu atsmanu minadz dzhabi." Ightanim khomsan qabla khomsin," "ash-shalaatu khairun mina naum," dan seterusnya.

Konon masyarakat Mesir lebih Islami dari Indonesia, namun selalu ada beberapa jarak antara ilmu dan praktek. Begitu pula di Indonesia. Tidur pagi yang mengisyaratkan kemalasan hanyalah salah satu dari sekian banyak kesenjangan tersebut. Ketiadaan ilmu yang dibarengi dengan amal mengakibatkan umat Islam terpuruk.

Jika demikian halnya, apakah kita selaku mahasiswa universitas Islam tertua di bumi akan melestarikan dan memperlebar kesenjangan tersebut? Semua kembali pada diri kita sendiri... Selanjutnya

The Return

Tuesday, September 11, 2007
Yeah, setelah beberapa lama sempat vakum, akhirnya aku bisa lagi mengekspresikan diriku lewat tulisan. Memang tidak mudah, namun patut dicoba. Just give it a try, and I can!

I hope, Allah will always guide me passing through this sophisticated world. Ternyata bisa bahasa Inggris juga, hehehe... Without U, I'm nothing. Within U, I'll be something. Coz for me, U're everything.

Yup, let's start the new stage of life. From past, we learn. In present, we act. To future, we step ahead. Good luck!
Selanjutnya

Berhenti Sejenak

Tuesday, June 19, 2007
Kesepian tak bermakna, kesia-siaan tak memberi, apatah kita ini? Seonggok ilusi yang bergerak. Bayangan yang terpantul pada layar mata. Adakah semua itu nyata?

Sebagian orang tertawa, sebagian lain menangis. Betapa hidup berubah, bertolakbelakang, berulang. Sementara sebagian orang membanting tulang mencari selembar rupiah, sebagian lain mencari tempat sampah untuk membuang segepok dolar.

Orang hidup lalu mati, tersenyum lalu menangis, kaya lalu miskin, sehat kemudian sakit. Apakah yang kita tuju? Dunia hanya sebatas kelopak mata, keabadian bukan miliknya. Mantapkan langkah, tegarkan hati. Meniti jalan, menapak bumi, menggapai ridho Ilahi...
Selanjutnya

Rumah Es - 3

Friday, June 8, 2007

“Lex… Lex…” Aku terperanjat. “Siapa itu?” Kepalaku berputar mencari suara.

“Lex… Lex…” Aku menoleh. Mataku terbelalak, tak percaya apa yang kulihat. Dinding bisa berbicara? Tidak mungkin!

“Hahaha…” Sofa dan meja tertawa terbahak-bahak.

Wajahku memucat. Hantukah. Suara-suara aneh itu berhenti. Rumah kembali sepi. Senyap. Hawa dingin masuk lewat sela-sela jendela.

Aku harus mengakhiri kebekuan ini. Akan kubuktikan, ini bukan rumah es. Ada api di rumah ini. Yang bisa menghangatkan hati. Membangkitkan semangat. Menyalurkan energi pada alam.

Namun aku teringat kata-kata Lynd tempo hari. Mungkinkah aku terjebak juga pada khayalan. Khayalan tentang api dalam rumah. Bunga di musim dingin. Ah, tidak. Impianku bukan khayalanmu, Lynd.

Di rumah ini...
Kita pernah impikan kebahagiaan.
Kita pernah impikan hangatnya sebuah senyuman.
Kita pernah impikan indahnya canda tawa.

Aku harus bisa, tekatku. Aku tak kan lari. Demi sebuah harapan dan impian. Tanganku meraih korek lalu menggeseknya lagi dan lagi…

Selanjutnya

Rumah Es - 2

Thursday, June 7, 2007

“Jangan jadi seorang utopis. Itu kan cuma ada dalam khayalan. Tidak mungkin terjadi di sini. Khayalan memang selalu indah, Lynd.”

“Apa berkhayal itu salah? Aku sudah cukup muak dengan musim dingin. Mungkin menurutmu khayalan tak berguna. Namun sebagian orang lebih suka hidup dalam khayalan. Bagi mereka, kenyataan terlalu pahit. Hidup tak semudah yang kau bayangkan, Lex.”

“Lalu jika khayalanmu tidak kau dapatkan, apa yang kau perbuat?”

Lynd tertegun sejenak. Dengan wajah tertunduk ia menjawab singkat, “Pergi…”.

“Lalu, jika tak kau dapatkan lagi. Kau akan pergi lagi dan lagi? Sampai kapan kau akan terus lari dari kenyataan, Lynd. Menyingkir dari hidup…”

“Sudah, cukup!” tukasnya. “Aku terlalu sering mendengar ocehan serupa. Hampir setiap orang. Akhirnya mereka hanya bisa berbicara dan berbicara sampai mulut mereka berbusa. Tapi pahitnya kenyataan tak berubah, Lex!”

“Tapi kita harus realistis, Lynd. Memandang hidup yang sebenarnya…”

“Khayalan adalah jawaban yang paling realistis, Lex!”

“Ingat itu…” kata Lynd menangis sesenggukan. Ia kemudian masuk ke kamarnya. Meninggalkanku terpaku di depan tungku.

Yah… Aku tak habis pikir, sebegitu mudahkah mereka meninggalkan rumah ini. Hanya karena dingin. Hidup tanaman pun tak lagi dihiraukan. Udara terlalu dingin, kata mereka.

Mengapa tidak berusaha menghangatkannya?

Cklek… pintu kamar Lynd terbuka. Ia berdiri mengenakan jaket bulu kesayangannya. Jaket bulu pemberian bibinya. Tangan kirinya menggenggam tali koper. “Aku pergi…”, putusnya.

Aku terdiam. Benarkah yang kudengar. Bahkan, keceriaan Lynd pun tak mampu membuatnya bertahan.

“Jaga dirimu baik-baik, Lex”

Aku tak kuasa bergerak. Aku kehilangan senyum terakhirku. Senyum Lynd. Pandanganku kabur. Air mulai menetes di sudut mata. Matt… Lynd…

TIDAK! Aku buka mataku. Memoriku terus memutar peristiwa hari mengerikan itu, berulang-ulang. Seminggu ini pula hidupku diteror mimpi buruk. Sebuah episode penuh kebekuan, emosi, dan prasangka.

Selanjutnya

Rumah Es - 1

Sunday, June 3, 2007

Angin berhembus dingin. Melintasi pepohonan. Mengasingkan hangat.

Bocah itu meringkuk di depan perapian. Wajahnya muram termangu. Menggigil di tengah dingin.

“Aku harus bisa,” gumamnya.

Tangan lusuhnya meraih kotak korek. Dibukanya. Ah, batang terakhir, katanya sembari menggesekkannya. Crek..crek… Tak ada api menyala. Dasar korek tua. Habis sudah… Minyak yang sedari tadi dia tumpahkan di atas kayu bakar mulai membeku.

Sudah seminggu ini api tak jua menghangatkan rumah. Padahal musim dingin semakin menjadi-jadi. Rumah sederhana tidak cukup menahan hawa dingin di kaki gunung. Kedua temannya sudah lima hari yang lalu angkat koper. Terlalu dingin, kata mereka. Lebih baik mencari rumah yang lebih hangat dari pada mati beku di rumah sendiri.

“Masa rumah kita mau ditinggal begitu saja?”
“Terserah kamu. Kalau memang masih mau tinggal di sini ya sudah. Aku tetap akan pergi.”
”Lalu bagaimana dengan tanaman hiasmu? Siapa lagi yang bisa merawatnya kalau bukan kamu?”
”Persetan dengan tanaman itu. Sejak musim panas pergi, tak ada gunanya membuka jendela untuk matahari. Rumah ini terlalu dingin.”

Lex tak bisa berkata-kata mendengar jawabannya.

“Minggir, biarkan aku pergi,” kata Matt sambil mendorong tubuhnya dari pintu.

Tubuh kecil Lex terjerembab. Memandangi langkah Matt yang semakin menjauh dan menjauh. Hingga akhirnya menghilang di tikungan. Akhirnya Matt pergi…

Padahal ketika musim panas, tanaman itu berbunga indah. Harum. Beberapa tetangga mampir untuk sekedar melihat bunga itu. Aku, Matt juga Lynd rajin merawat mereka Namun sekarang… hhh…

“Andai setahun penuh musim panas ya. Matahari hangat menyinari. Bunga-bunga bermekaran. Orang-orang turun dan bermain di jalanan. Piknik ke danau. Ah, seandainya…” kata Lynd, mukanya menengadah. “Ya, nggak?” tengoknya sambil tersenyum manis.

Aku tersenyum juga melihat mukanya yang ceria. “Iya juga sih, tapi…”

Alis Lynd terangkat. “Tapi apa?”

Selanjutnya

Episode 20 (Acknowledgement)

Tuesday, April 24, 2007
Thanks to:

Allah Swt. The Most Gracious who gave me an amazing opportunity to life. Ampunilah hamba-Mu yang tak tahu diri ini. Bimbinglah hamba agar tak lepas dari jalan-Mu. Kuatkanlah hamba agar bisa berjuang li i'laai kalimatillah. Li annal islaama ya'luu wa laa yu'laa alaih.

Rasulullah Muhammad Saw. The seal prophet. Semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan atas dirimu, ya mushthafaa.

Ibu dan bapak di rumah, terimakasih atas segala kasih sayang yang diberikan.

Bu, ternyata mengurus rumah itu sulit ya, capek. Apalagi kalau setiap hari. Bangun tidur terus masak, lalu ke kantor. Sepulang kerja tidur sejenak atau nyuci baju. Setelahnya masak buat makan malam. Kemudian membereskan dapur dan meja makan. Ibu pasti capek. Maafkan aku rewel dan bandel...

Pak, ternyata mengurus keluarga itu nggak mudah ya. Terkadang ada kesalahpahaman. Terkadang rasa ikhlas ini hilang. Terkadang juga kesepahaman dan kekompakan luntur. Terkadang di sini aku merasa sedingin kutub. Namun bapak mampu menunaikannya dengan baik. Maafkan aku atas egoku...

Dek Tika yang lagi kuliah... terkadang aku merasa geli juga pas ingat dulu. Hampir setiap hari bertengkar. Nggak ada hari tanpa perang, hehehe... Sekarang rasa kangen itu muncul, ketika kita sudah jauh terpisah.

Dek Tito... Kapan-kapan main Gundam lagi yo ^_^ . Waktu itu pasti Deathschyte-ku nggak bisa dikalahkan, chayoo. Kalau perlu maen bola, dijamin gawangku nggak bakal kebobolan. Ingat, anda berhadapan dengan S.G.G.K (Super Great Goal Kiper)! Huehehehe...

Mbah Ti, Mbah Balen sama Mbah Kung... Maafkan segala salahku. Semoga selalu dikaruniai nikmat iman, Islam, dan kesehatan. Amieen...

Mas Pek, Mbak Dian n Mas Dedi, Mbak Esti, Mas Didit, Mbak Ririt, Dek Aan, Dek Saliyah :D Jadi pingin rekreasi bareng nih. Di sini nggak ada pemandian belerang kayak di Perataan. Adanya mandi debu di gurun, hehe...

Dek Iyan di Bandung, Dek Win sama Dek Happy di Malang, Dek Dita di Bojonegoro... Kapan-kapan ngirim email ya, biasanya di kampus kan ada internet. Oya, jangan keseringan TA, hehehe... Selamat berjuang di rantau tuk menggapai cita ;) . Adik-adiknya sekalian dijaga.

Dek Lisa Rastiti, Dek Dila, Dek Bagas, Dek Fia (aduh lom sempat ketemu, hiks), Dek Bagus, Dek Yayak...Selamat menempuh ujian. Moga sukses!

Juga buat Dek Ima, Dek Ami, Dek Kadafi, Dek Tofa, Dek Tul, Dek Vidi, Dek Vio, Dek Viodi, Dek Vino, Dek Danik, Dek Iva, dan seterusnya... I'll miss u all.

Lek Bud sekeluarga di Surabaya
Lek Umi sekeluarga di Lampung
Lek Lif sekeluarga
Lek Yul sekeluarga
Lek Endang sekeluarga
Lek Eni sekeluarga
Lek Pud sekeluarga
Lek Ida sekeluarga di Lampung
Lek Agus sekeluarga
Lek Ton sekeluarga di Jogja

Juga buat seluruh keluarga di Bojonegoro, Madiun, Tasikmalaya, Solo, dst.

Yudha, Asa, Andik... Kapan reuni nih. Main kelereng lagi kayak dulu, haha... Tim sepakbola Klangon seri-A yang tergusur oleh bangunan, pengen maen bola.

AHDA, thanks dah menemani aku belajar dari MI sampe sekarang, moga-moga nggak bosen :D. NURMA, thanks buat saran dan dukungannya. Ntar kenalin aku sama anakmu ya, huehehe...

Teman2 Blitza dan Tanafouz... mari kita ukir sejarah bersama-sama. Kita punya orang-orang yang penuh potensi. Teman2 ISBAT dan Robah... thanks buat segalanya. Terkadang pahit untuk mengakui sebuah kekurangan, namun itu lah yang terbaik.

Asatidz dan para guru... aku tak bisa seperti ini tanpa jasamu.

Dan semuanya yang tidak tersebut namanya, aku minta maaf atas segala kesalahan yang pernah aku lakukan. Semoga di tahun-tahun mendatang, aku mampu merubah diri menjadi lebih baik. Amieen...

اللهم أصلح لنا ديننا الذي هو عصمة أمرنا
اللهم أصلح لنا دنيانا التي هي معاشنا
اللهم أصلح لنا آخرتنا التي هي معادنا
Selanjutnya

Hanyut dalam Diam

Wednesday, April 18, 2007

Kau tak kan merasa, ada orang yang mengharap dirimu.

Kau tak kan sadar, ada orang yang tersiksa karna terus ingatmu.

Kau tak kan tahu, ada orang yang selalu dihantui bayangmu.

Kau tak kan mengerti, perasaan orang yang ingin melupakanmu.

Kau tak kan paham, keinginan orang yang menanti hatinya patah.

Kau tak kan mendengar, rintihan orang yang menahan perih.

Kau tak kan melihat, senyum orang itu palsu.

Karna ku memilih... diam...

--Ayoo doong, Semangat!! Semangat!!--
Selanjutnya

Perang Demi Cinta

Tuesday, April 17, 2007
"Fundamentalis," "ekstrimis," "teroris." Sebutan-sebutan seperti itu sudah seringkali kita dengar. Di koran, radio, televisi, ruang diskusi, majalah, dan berbagai media massa.

Umumnya, label-label di atas dinisbahkan kepada orang-orang yang menempuh jalan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Walaupun menurutku penisbahan label tersebut sangat tidak berimbang. Hanya kelompok-kelompok Islam tertentu yang selalu disebut seperti itu, sementara kelompok keras (non-Islam) yang lain sama sekali tidak disentuh...

Sayangnya lagi, kekerasan yang dilakukan oleh segelintir kelompok itu digeneralisir untuk mensifati kelompok yang lebih besar (baca: Islam). Padahal apabila benar kekerasan adalah sifat kelompok besar itu, niscaya dengan jumlah pengikut yang sangat memadai, peperangan terbuka pasti sudah terjadi merata di seluruh bumi. Dari sini tampak bahwa generalisasi stigma 'teroris' terlalu dipaksakan.

Sekarang bukan zamannya lagi menggunakan kekerasan. Masa kekerasan sudah lewat (seharusnya). Oleh sebab itu, peran dan kemampuan intelektual lebih diutamakan.

Akan tetapi, sebelum membahas lebih jauh. Be Te We, kekerasan itu apa sih? Apakah perang itu selalu merupakan kekerasan? Bukankah ada juga yang bernama 'penjajahan intelektual', 'penjajahan budaya', 'penjajahan ekonomi'? Pantaskah kekerasan diukur melalui kegiatan fisik? Apakah perang itu jelek?

Dahulu bangsa Indonesia dijajah habis-habisan oleh Belanda, Inggris, Jepang, de es te. Lebih dari 350 tahun (bayangkan...) juta an orang hidup menderita di bawah lars kolonial.

Coba, andai saja tidak ada perlawanan (perang) terhadap penjajah, mau jadi apa bangsa ini? Akankah kita tetap bisa menghirup kemerdekaan?

Jika dahulu tidak muncul pejuang-pejuang macam Panglima Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, Cut Nyak Dien, dll., bisakah kita mulai membangun bangsa kita saat ini?

Perang memang menyakitkan. Nyawa-nyawa berguguran. Ibu kehilangan anak. Anak kehilangan bapak. Infrastruktur hancur lebur.

Namun jangan kira mereka bersedih lalu kecil hati. Mereka lebih memilih mati daripada harus hidup terjajah. Segalanya dipertaruhkan demi kemerdekaan. Karena harta dan nyawa tak sebanding dengannya.

Mereka berperang atas nama cinta. Cinta akan kemerdekaan, tanah air... Cinta akan kebenaran...

Berdiam diri atas suatu kebatilan adalah batil.

Karena itu seluruh bangsa Indonesia sepakat: MERDEKA ATAOE MATI!!
Selanjutnya

Realitas Maya 'Cinta'

Monday, April 16, 2007
Heran ya, sebenarnya manusia adalah makhluk yang sangat kreatif. Dari segi manapun, akal manusia bisa melihat dan mencipta. Walau dalam keterbatasan...

Ngg.. Kalo menurutmu, aneh nggak kalo hampir (nyaris) semua lagu bertemakan cinta. Khususnya antar lawan jenis. Ditambah dengan film-film yang isinya juga nggak jauh beda.

Di sini aku bukannya mau menafikan arti cinta. Cinta memang mampu mengubah gelap menjadi terang. Namun masih saja tersisa pertanyaan, cinta yang bagaimana?

Selama ini yang digembar-gemborkan dalam media adalah cinta antar lawan jenis. Lengkap dengan tata cara membina hubungan (ala...). Jadi sudah ada pedomannya (berdasarkan...).

Yang menjadi masalah, menurutku 'cinta' tampak terlalu dibesar-besarkan. Sampai-sampai dalam lagu disebutkan, "Aku tak bisa hidup tanpamu", "kuserahkan hidup matiku hanya untukmu". Di antara lirik-lirik yang paling membuatku malu, "Aku adalah lelaki yang tak pernah menyerah mencari wanita..." Seakan-akan harga hidup ini hanya semurah itu... Benarkah?

Di film-film, orang berebut cinta. Orang ramai-ramai membuat kebahagiaan semu lalu menangisinya tatkala hilang. Tak putus asa, mereka membangun lagi kesemuan itu dan menangisinya tuk kesekian kali. Apa nggak enak langsung nikah saja?

Memang dalam seni, majas hiperbola adalah sesuatu yang amat lazim. Namun seni juga berpengaruh pada kejiwaan serta pikiran. Akal kita seakan menemui jalan buntu. Ke sana ada 'cinta', ke sini ada 'cinta'. Lambat laun kita mengira bahwa ya hanya itu adanya.

Ya, kita harus punya mata untuk melihat sesuatu di luar 'cinta' yang sempit. Ada cinta yang lebih luas, cinta tanah air, cinta alam, cinta keluarga, cinta orang tua, cinta terhadap kebenaran, cinta agama, cinta Rasulullah, cinta kepada Ia yang telah menciptakan kita, memberi kesempatan kita untuk hidup. Cinta kepada Sang Maha Pengasih yang telah memberi kita cinta...

"Cinta itu tak punya mata, namun kita harus punya mata," demikian pesan Om Gazar pada Dion di penghujung hayatnya (dari Film: I Love U, Om).
Selanjutnya

Ngawur

Friday, April 13, 2007
Hmm... Indonesia...

Konon sih, katanya Indonesia itu negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia. Bahkan penduduk negara-negara Arab pun segan bila mendengar nama negeri berjuluk Zamrud Khatulistiwa ini.

(Sori, kehabisan bahan nulis. Pindah topik aja yah ^_^)

Siapa yang nggak pernah denger Empat Mata? Ngaku hayoo. Katroo bangeet, hehehe... Acara komedi ini dipandu oleh host yang keren abizz, Mas Tukul Arwana. Katanya neh, laptopnya buat semua orang ngiri. Gayanya yang khas dan vulgar mampu mengocok perut semua orang. Yahh, itung-itung refreshing. Lumayan, bisa sejenak melupakan beban hidup.

Ohya, ni ada titipan dari dalam hati. Katanya minta dituliskan di blog. Baca aja yaa, tapi nggak usah terlalu dimasukkkan hati, cukup taruh di atasnya aja ^_^

Yang aku nggak habis pikir, kenapa harus (maaf) paha-paha rok miniers yang menjadi latar belakang Mas Tukul Arwana pas diclose-up?
Kenapa si cewek musti berpakaian minim?
Kenapa hampir setiap artis cewek yang diundang kebagian chick to chicknya Mas Tukul?
Kok sepertinya mereka nggak merasa bersalah sama sekali, padahal seperti yang dikatakan pada episode Valentine kemaren, istri Mas Tukul setiap tampil hadir di studio. Memang apa sih arti pernikahan itu?
Pada edisi itu pula dengan jelas istri beliau mengatakan, "jodoh dan rezeki itu di tangan ALLAH," tapi mengapa masih saja...?
Apa memang berciuman di depan umum sekarang menjadi wajar?
Benarkah itu kebebasan?
Itukah yang bernama modern dan beradab?
Di mana moral kita?
Sebegitu banyakkah kita berubah?
Lelahkah kita terombang-ambing dalam ketidakpastian?
Ke mana kita berkiblat?
Siapa diri kita?
Kenapa kita hidup?
Buat apa?
Apa sih kita?

Maaf kalo tulisan kali ini agak 'panas'. Mohon dimaklumi, coz yang nulis cuman anak kecil yang nggak tahu apa-apa. Chayoo...
Selanjutnya

Dua Minggu (2)

Tuesday, March 20, 2007
Ganjalan yang paling berarti adalah dana. Pada mulanya KBRI dan Lembaga kemahasiswaan tertinggi di sini menjanjikan bantuan. Ketidakpastian berlangsung hingga h-7. Ternyata penanggungjawab keuangan sedang ke Indonesia sampai h-1. Terus terang panitia kelabakan setengah mati. Acara kita jadi atau tidak?

Keputusan diambil. Bantuan dana dianggap tidak pernah ada. Penarikan sumbangan wajib dioptimalkan. Panitia yang belum membayar harus ditagih. Koordinator zone juga harus memastikan semua anggota di-zone-nya melunasi sumbangan.

H-2. Waktu gladi terakhir dihelat, datang kabar buruk lagi. Ternyata tempat yang akan digunakan baru di-booking! Dan tempat tidak bisa dipakai pada jam yang direncanakan, harus mundur 4 jam!

Menurut prosedur, booking tempat harus dilakukan panitia dengan perantara Lembaga tertinggi mahasiswa. Dan ternyata (lagi), orang yang diserahi tugas oleh ketua Lembaga kemahasiswaan tersebut baru bergerak. Padahal sudah 2 minggu terhitung mulai dia ditunjuk!

Akhirnya kami pasrah, acara diundur 4 jam. Panitia habis-habisan mempublikasikan pergeseran waktu dalam 2 hari. Secara umum, tempat tinggal mahasiswa di sini tersebar. Apalagi masih ada mahasiswa dari daerah yang mau datang.

Alhamdulillah, pada hari h, dana yang terkumpul mencukupi. Tanpa bantuan pihak manapun. Dan acara bisa dipastikan terselenggara tanpa harus meminjam. Allahu akbar, KITA BISA!
Selanjutnya

Dua Minggu (1)

Monday, March 19, 2007
Capek. Hanya kata itu yang pantas untuk menggambarkan keadaanku sekarang. Mungkin baru kali ini aku merasakan hal ini, tepatnya sejak aku keluar dari pondok.

Dua minggu. Siang malam. Pikiranku berputar-putar tak berhenti. Antara kepanitiaan silaturahim plus jurnalnya, penarikan dana, kajian ushuluddin, sanggar terjemah, kajian Al-Qudwah, bagian keilmuan, buletin Cakrawala, serta kewajibanku yang tak dapat ditawar, diktat kuliah.

Barangkali dalam dua minggu terakhir yang paling menyedot energiku adalah kepanitiaan silaturahim angkatan 2006. Rencananya 450-an mahasiswa angkatan 2006 diundang. Tak terbayang bagaimana anak-anak tingkat atu yang masih "lugu" mampu menyelenggarakan acara akbar. Masalahnya kita berada di negeri yang benar-benar "asing".

Namun salut buat panitia. Meskipun bahasa setempat belum begitu dikuasai, medan atau lapangan juga belum banyak diketahui, semangat mereka tidak kendor.
Selanjutnya

Sandaran Hati

Friday, March 16, 2007
by: Letto
Yakinkah ku berdiri, di hampa tanpa tepi
Bolehkah aku mendengar-Mu
Terkubur dalam emosi, tanpa bisa sembunyi
Aku (dan) nafasku merindukan-Mu

Terpurukku di sini, teraniaya sepi
(Tapi) [Dan] kutahu pasti Kau menemani
Dalam hidupku, kesendirianku

Reff:
Teringat ku teringat, pada janji-Mu ku terikat
Hanya sekejap ku berdiri, kulakukan sepenuh hati
Tak peduli ku tak peduli, siang dan malam yang berganti
Sedihku ini tiada arti, jika Kaulah sandaran hati
Kaulah sandaran hati

Inikah yang Kau mau, benarkah ini jalan-Mu
Hanyalah Engkau yang ku tuju
Pegang erat tanganku, bimbing langkah kakiku
Aku hilang arah tanpa (hadir)-Mu, dalam gelapnya malam hariku
Selanjutnya

Takjub

Thursday, March 8, 2007
Ia datang lagi. Setelah sekian lama pergi. Sesuatu yang tak kuharapkan. Aku tak mau bertemu dengannya di sini... saat ini... Namun ia terjadi. Pandangan ini jatuh pada sosokmu.

Engkau memang cantik. Secantik mawar putih yang merekah. Tutur laku yang cerminkan kesucian hati. Anggun. Wajah yang menyejukkan. Dinding ini bergetar hebat kala senyum tersungging di sudut bibirmu. Maha Suci Ia yang menciptakanmu...

Namun tampaknya aku harus lupakan dirimu. Cepat atau lambat. Mudah atau susah. Mungkin atau tidak. Pahit. Hari ini bukan waktuku. Pun bukan milikmu.

Bukan maksudku menghindari. Aku tak ingin berlari. Aku hanya ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur. Perasaan dan keindahan ini adalah semata-mata karunia-Nya. Tak akan kurasakan ini tanpa pemberian-Nya. Tiada daya dan upaya kecuali dengan-Nya.

Maka izinkanlah aku untuk berterimakasih kepada-Nya. Aku akan ingat dirimu. Ku kan simpan di tempat yang Ia tentukan. Karena aku percaya sepenuhnya, apa yang Ia tetapkan atasku adalah yang terbaik. Boleh jadi kita menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagi kita. Sebaliknya, boleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kita. Ia Maha Tahu...

(Namun jika benar Ia telah menulisnya, kan kusambut kehadirannya. Sepenuh jiwa...)
Selanjutnya

Paradoks

Wednesday, March 7, 2007
Hehehe, dah lama nggak ngisi blog. Hari-hari terakhir rasanya berlalu begitu cepat. Sekarang sudah hari Rabu, besok kamis, eh lusa sudah jum'at lagi. Sampe aku baru sadar, ternyata aku sudah 5 bulan di sini!

Padahal masih banyak yang belum dikerjakan. Yang organisasi, yang program ini itu lah. Morat marit. Belum belajar sama kuliahnya. Kebanyakan belum dibaca, padahal bulan depan sudah ujian. Nah lo...

Tampaknya ungkapan Sir Muhammad Iqbal tidak berlebihan, "Pekerjaan kita lebih banyak dari waktu yang kita miliki." Dari sini aku harus bisa membagi waktu. Seperti kata pepatah yang lain, "Waktu bagaikan pedang, jika tidak kau patahkan, ia akan memotongmu."

Sebagian orang berlari, dikejar-kejar oleh waktu. Dihantui rasa takut akan dipotong. Sebagian lain hanyut dan larut dalam buaian kekosongan. Dan sebagian lain berjalan dengan tenang...

Sebagian gelisah sampe nggak bisa tidur. Sebagian lagi tidur pulas seharian. Hitam putih memang selalu berpasangan...

Aku masuk bagian mana?
Apa yang kucari di sini?
Selanjutnya

di Balik Tabir

Wednesday, February 21, 2007

Hmmm... kemarin aku sempat berpikir aneh sekali. Nggak tahu asalnya dari mana, kok bisa sampai begitu. Sepertinya gara-gara stress 4 jam berdiri ngantri di kantor imigrasi, tapi nggak dapet visa juga, hiks...

Kurang lebihnya begini...Kita sekarang hidup. Kita makan, minum, banting tulang, menggali ilmu, berusaha meningkatkan diri, dan lain sebagainya. Tapi suatu saat kita pasti mati. Manusia mana yang tidak bisa mati?

Ketika mati, kita tidak membawa uang yang kita usahakan selama hidup, walau sepeser. Ratusan hektar tanah tidak berguna, hanya sepetak tanah yang kita huni. Di kubur, kita sendiri, tanpa anak istri. So, buat apa kita susah-susah banting tulang bekerja, belajar, dan berusaha?

Kita sering melupakan hari itu. Hari yang tak dapat diundur ataupun diajukan sedetikpun. Tatkala Izrail menjemput ruh. Akankah kita menatap wajahnya yang ramah atau menyeramkan. Malaikat yang tidak bisa disogok. Waktu yang tidak bisa dikorupsi.

Acapkali kita bertingkah. Seolah-olah kita tidak berawal dan tidak berakhir. Seakan-akan hidup kita tidak akan pernah dibangkitkan kembali. Pangkat, harta, ilmu...Pandangan kita seperti terbentur pada sebuah tembok. Dan tembok itu bernama dunia.

Padahal di sana masih ada hidup yang abadi. Masih ada surga memuji atau neraka memaki.

Padahal di sana perhitungan dimulai. Bukan harta atau ilmu berarti. Namun amalan yang shalih.

Ketika itu tidak ada yang berbicara. Bukan manusia, bukan pula jin, setan, atau malaikat. Kecuali yang diizinkan oleh Allah.

Ketika wajah hitam
atau bersih bercahya

Tangan dan kaki bersaksi
Mambela atu menghujat diri

Syafaat yang dinanti...
Selanjutnya

Kangen

Sunday, February 18, 2007

Eh... kemaren hari yang aneh. Nggak tahu kenapa kok aku jadi inget sama adek-adekku. Kangen banggettt...Waktu baca al-Burhan fi Ulumil Quran karya Zarkasyi, kebayang waktu dulu pas aku sama adekku bantah-bantahan tentang jumlah ayat di al-Quran.

Aku sih santai saja. Keyakinanku waktu itu ayat al-Quran berjumlah 6666 ayat, seperti yang dikatakan guru ngajiku. Namun adekku nggak percaya begitu saja. Udah, kalkulator diambil lalu dihitung ayatnya persurat dan dijumlahkan. Sampai hitungan terakhir ternyata jumlahnya bukan 6666. Walah, aku salah dong... hehehe...

Waktu lihat film juga terlintas wajah adekku yang laen. Weh, mirip sama aktrisnya. Sebulan yang lalu aku juga bermimpi, adek-adekku mengelilingiku, menatap wajahku dengan rasa ingin tahu. Mereka angkatan kecil dalam keluarga besarku. Kebanyakan masih SD atau TK. Jangan-jangan karena aku lama di sini, bisa-bisa aku kenalan lagi sama mereka. Persis pas aku pulang dari pondok kemaren.

Tau lah, itu urusan empat tahun lagi...

Memang benar kata pepatah, kesehatan adalah mahkota yang tidak terlihat kecuali bagi orang-orang sakit.

Kita jarang bisa melihat apa yang kita punyai lalu mensyukurinya. Namun kita baru sadar betapa pentingnya ia ketika hilang dari kita. Ya Allah jadikanlah aku di antara hamba-hamba-Mu yang pandai bersyukur...
Selanjutnya

Antara Being dan Becoming

Tuesday, February 13, 2007

Dua kata yang sepintas sama, namun berbeda. Kalau kita bandingkan keduanya:

- I am being a student.
- I am becoming a student.

Being menunjukkan sesuatu yang sudah sampai pada tujuan. Jika dikatakan "I am being a student," artinya aku sudah benar-benar menjadi pelajar. Apa yang aku katakan sudah aku raih.

Lain halnya apabila dikatakan "I am becoming a student." Berarti aku ingin menjadi seorang pelajar dan sekarang aku masih berusaha untuk menjadi seorang pelajar. Apa yang aku katakan belum aku raih.

* * *

Seseorang yang merasa ia telah menjadi seorang pelajar akan merasa puas. Terdorong oleh pikiran tersebut, ia tidak berusaha untuk menjadi lebih baik lagi. Apa lagi yang harus dirubah? Toh aku sudah jadi pelajar. Titik.

Dari sinilah rasa sombong bermulai. Tak ada manusia sempurna. Berhenti pada suatu tahapan adalah kesombongan.

Berbeda dengan seseorang yang tahu bahwa ia masih berada dalam proses menjadi seorang pelajar. Walaupun pada hakekatnya dia memang seorang pelajar. Dengan anggapannya tersebut ia berusaha untuk memperbaiki diri.

Seorang bermental becoming sadar, ia memang seorang pelajar. Namun pelajar macam apa? Berilmukah atau kosong berbunyi nyaring? Rumput merundukkah atau pohon roboh?

Di atas langit masih ada langit. Masih ada seorang Syafi'i, Abu Hanifah, dan lain-lain. Di atas mereka masih ada Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dsb. Di atas mereka masih ada teladan kita, Rasulullah SAW. Dan di atas beliau masih ada Yang Maha Mengetahui. Dia yang ilmunya tak habis walau ditulis dengan air dari tujuh samudera.

So, jadilah "becoming"... bukan "being"...
Selanjutnya

Jiwa yang Terbunuh

Saturday, February 10, 2007
Aku tertegun pas pertama lihat tulisan itu. Jelas di atas whiteboard kamar temanku. Ya, jiwa yang terbunuh...

Terkadang kita berusaha melakukan sesuatu untuk sekedar membunuh waktu. Main game, jalan-jalan, de es be. Tak kurang cara menghabiskan waktu luang. Nggak ada internet bisa nge-game. Nggak ada komputer ada gitar. Nggak ada gitar, lari ke rumah teman, maen...

Sekilas yang terlihat cara itu efektif untuk membunuh waktu luang. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Alih-alih membunuh waktu, justru kita terjebak dalam permainan itu. Waktu yang seharusnya bermanfaat akhirnya terbuang sia-sia.

Dan menurut pengalaman, cara itu tidak hanya dilakukan sekali saja. Kegiatan seperti itu bisa membius dan melenakan kita. Jika sudah seperti itu, ibarat orang kecanduan, kita terperangkap dalam "kegiatan" yang kita ciptakan sendiri. Berulang-ulang setiap hari.

Jadilah hidup yang statis. Mending kalau benar-benar bermanfaat. Parahnya terkadang tujuan dan manfaat "kegiatan" kita tidak jelas. Akhirnya kita terbunuh. Mati tak berguna. Bagai mayat hidup berkeliaran di atas tanah. Mengerikan...
Selanjutnya

The Perfect Fan

Thursday, February 8, 2007
by Backstreet Boys

It takes a lot to know what is love
It's not the big things, but the little things
That can mean enough
A lot of prayers to get me through
And there is never a day that passes by
I don't think of you
You were always there for me
Pushing me and guiding me
Always to succeed

Chorus:
You showed me
When I was young just how to grow
You showed me
Everything that I should know
You showed me
Just how to walk without your hands
Cause mom you always were
The perfect fan

Verse 2:
God has been so good
Blessing me with a family
Who did all they could
And I've had many years of grace
And it flatters me when I see
a smile on your face
I wanna thank you for what you've done
In hopes I can give back to you
And be the perfect son

Chorus Bridge:
You showed me how to love, ( You showed me how to love)
You showed me how to care
And you showed me that you would
Always be there
I wanna thank you for that time
And I'm proud to say you're mine

Chorus (raised Key of C#)
You showed me
When I was young just how to grow
You showed me
Everything that I should know
You showed me
Just how to walk without your hands
Cause mom you always were
The perfect fan

Ending:
Cause mom you always were
Mom you always were
Mom you always were
You know you always were
Cause mom you always were
The perfect fan

I love you mom...
Selanjutnya

Guratan Asa

Wednesday, February 7, 2007
Hati ini tak setegar karang, bukan juga batu yang memancarkan air. Atau ia yang jatuh karena takut pada Sang Pencipta...

Aku hanyalah insan yang luruh dalam hingar bingar dunia. Lemah dan bodoh. Tak sangka kan musuh di pelupuk mata. Ocehkan gemerlap dunia berapi-api. Nanar waktu kupandang. Aliran yang menghanyutkanku dalam kesemuan, ketiadaan yang bersolek. Jiwa ini gelisah mencari, sosok yang mengajari bagaimana berdiri dengan tegak, menatap tajam tiap kebusukan yang terjadi, menantang ego yang mencengkeram erat jiwa...

Bayang dan anganku kusandarkan pada setiap makhluk. Kujajakan diri ini di hadapan ilusi-ilusi yang bernafas. Tertawa di tengah rajaman hati. Menipu diri dengan bualan dan omong kosong!

Apatah arti diri ini di hadapan-Mu...

***

Matahari tertunduk di cakrawala. Senja tenggelam dalam dekapan malam. Kiaskan hidup yang mengalir dan berputar. Nantikan hari baru. Torehkan air mata atau derai tawa. Munculkan sebentuk guratan asa...
Selanjutnya

Terima Kasih

Berterimakasihlah kepada perang
Dengannya kau mengerti arti damai

Berterimakasihlah kepada sakit
Dengannya kau mengerti arti sehat

Berterimakasihlah kepada salah
Dengannya kau mengerti arti benar

Berterimakasihlah kepada gelap
Dengannya kau mengerti arti terang

Berterimakasihlah kepada bodoh
Dengannya kau mengerti arti ilmu
Selanjutnya