Rumah Es - 1

Sunday, June 3, 2007

Angin berhembus dingin. Melintasi pepohonan. Mengasingkan hangat.

Bocah itu meringkuk di depan perapian. Wajahnya muram termangu. Menggigil di tengah dingin.

“Aku harus bisa,” gumamnya.

Tangan lusuhnya meraih kotak korek. Dibukanya. Ah, batang terakhir, katanya sembari menggesekkannya. Crek..crek… Tak ada api menyala. Dasar korek tua. Habis sudah… Minyak yang sedari tadi dia tumpahkan di atas kayu bakar mulai membeku.

Sudah seminggu ini api tak jua menghangatkan rumah. Padahal musim dingin semakin menjadi-jadi. Rumah sederhana tidak cukup menahan hawa dingin di kaki gunung. Kedua temannya sudah lima hari yang lalu angkat koper. Terlalu dingin, kata mereka. Lebih baik mencari rumah yang lebih hangat dari pada mati beku di rumah sendiri.

“Masa rumah kita mau ditinggal begitu saja?”
“Terserah kamu. Kalau memang masih mau tinggal di sini ya sudah. Aku tetap akan pergi.”
”Lalu bagaimana dengan tanaman hiasmu? Siapa lagi yang bisa merawatnya kalau bukan kamu?”
”Persetan dengan tanaman itu. Sejak musim panas pergi, tak ada gunanya membuka jendela untuk matahari. Rumah ini terlalu dingin.”

Lex tak bisa berkata-kata mendengar jawabannya.

“Minggir, biarkan aku pergi,” kata Matt sambil mendorong tubuhnya dari pintu.

Tubuh kecil Lex terjerembab. Memandangi langkah Matt yang semakin menjauh dan menjauh. Hingga akhirnya menghilang di tikungan. Akhirnya Matt pergi…

Padahal ketika musim panas, tanaman itu berbunga indah. Harum. Beberapa tetangga mampir untuk sekedar melihat bunga itu. Aku, Matt juga Lynd rajin merawat mereka Namun sekarang… hhh…

“Andai setahun penuh musim panas ya. Matahari hangat menyinari. Bunga-bunga bermekaran. Orang-orang turun dan bermain di jalanan. Piknik ke danau. Ah, seandainya…” kata Lynd, mukanya menengadah. “Ya, nggak?” tengoknya sambil tersenyum manis.

Aku tersenyum juga melihat mukanya yang ceria. “Iya juga sih, tapi…”

Alis Lynd terangkat. “Tapi apa?”

0 comments: