Rumah Es - 3

Friday, June 8, 2007

“Lex… Lex…” Aku terperanjat. “Siapa itu?” Kepalaku berputar mencari suara.

“Lex… Lex…” Aku menoleh. Mataku terbelalak, tak percaya apa yang kulihat. Dinding bisa berbicara? Tidak mungkin!

“Hahaha…” Sofa dan meja tertawa terbahak-bahak.

Wajahku memucat. Hantukah. Suara-suara aneh itu berhenti. Rumah kembali sepi. Senyap. Hawa dingin masuk lewat sela-sela jendela.

Aku harus mengakhiri kebekuan ini. Akan kubuktikan, ini bukan rumah es. Ada api di rumah ini. Yang bisa menghangatkan hati. Membangkitkan semangat. Menyalurkan energi pada alam.

Namun aku teringat kata-kata Lynd tempo hari. Mungkinkah aku terjebak juga pada khayalan. Khayalan tentang api dalam rumah. Bunga di musim dingin. Ah, tidak. Impianku bukan khayalanmu, Lynd.

Di rumah ini...
Kita pernah impikan kebahagiaan.
Kita pernah impikan hangatnya sebuah senyuman.
Kita pernah impikan indahnya canda tawa.

Aku harus bisa, tekatku. Aku tak kan lari. Demi sebuah harapan dan impian. Tanganku meraih korek lalu menggeseknya lagi dan lagi…

0 comments: