MEMAKNAI PENGHAMBAAN

Thursday, December 11, 2008
Bismillahirrahmanirrahim

Siapakah manusia?

Manusia adalah hamba Allah Swt., ia diciptakan dari segumpal tanah. Dan tujuan utama Allah Swt. menciptakan makhluk bernama manusia adalah agar ia menyembah-Nya. “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56-57)

Kalimat-kalimat di atas sudah sangat akrab di telinga kita. Berulang kali para dai tak bosan-bosan mendengungkan ayat-ayat dan himbauan untuk selalu mengingat hakikat manusia. Apakah manusia itu? Mengapa ia ada? Dan bagaimana? Untuk apa ia ada? Sampai kapan ia ada?

Tak semua pertanyaan-pertanyaan tersebut mampu dijawab oleh logika dan sains. Pada taraf tertentu, seorang manusia harusnya selalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Untuk apa ia hidup? Apakah ia hidup hanya untuk mati? Ataukah ia hidup untuk mengulangi siklus yang sama dengan hewan dan tumbuhan (lahir-bereproduksi-mati)? Adakah misi yang lebih tinggi yang harus dijalankan? Mengapa ia mengerjakan pekerjaan tersebut?

Kedudukan Manusia
Manusia tidak diciptakan begitu saja. Berawal dari kisah penciptaan, manusia telah mendapatkan berbagai penghargaan yang luar biasa dari Allah Swt.

Pertama, Setelah terciptanya Adam, malaikat dan iblis diperintahkan oleh Allah Swt.untuk bersujud kepada-Nya. Sujud ini bukan berarti sujud beribadah akan tetapi simbol kemuliaan manusia. Bahkan malaikat yang tak berdosa pun diperintahkan pula untuk bersujud pada manusia yang mempunyai nafsu.

Kedua, manusia mendapat kehormatan untuk menjadi khalifah Allah di bumi. Allah telah menciptakan bumi dengan segala isinya untuk maslahat manusia. “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi serta menurunkan air (hujan) dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan kehendak-Nya; dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagimu. Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus menerus beredar (dalam orbitnya) dan telah menundukkan malam dan siang bagimu.” (Q.S. Ibrahim: 32-33)

Ketiga, untuk mendukung tugasnya tersebut, Allah Swt. mengkaruniakan akal dan pengetahuan yang tak Ia berikan pada makhluk selain manusia. Mari kita simak kisah penciptaan manusia, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi’. Mereka berkata, ‘apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kamu bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya. Kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, ‘sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!’ Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kamu ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana” (Q.S. al-Baqarah: 30-32)

Menyadari Keberadaan Sang Pencipta
Walaupun telah dianugerahi penghargaan-penghargaan tersebut, sayangnya manusia sering lupa akan asalnya. Di sinilah Allah Swt. telah mengisyaratkan pada manusia untuk selalu bertadabbur, merenungi ciptaan-Nya di alam ini. Tak usah jauh-jauh menyelidiki keajaiban dan kedahsyatan penciptaan hingga melacak sisa gelombang radiasi Big Bang yang terjadi trilyunan tahun lalu atau mempelajari struktur DNA yang rumit. Kita bisa mulai dari kejadian-kejadian sederhana di sekitar kita.

Ketika hari hujan, pernahkah kita berpikir, mengapa air turun ke bawah? Jikalau Allah Swt. berkehendak bukannya tak mungkin air hanya mengambang di udara. Mengapa hujan turun berupa titik-titik? Jikalau Allah Swt. berkehendak, bukannya tak mungkin hujan turun bak air dalam ember yang ditumpahkan. Tentu hanya kerusakan dan kehancuran yang terjadi. Berawal dari tetesan air, udara dan tanah yang sama, mengapa rasa pisang berbeda dengan mangga? Mengapa pula bunga berwarna-warni? Mengapa kambing jinak? Mengapa daging sapi bisa dimakan? Mengapa, mengapa dan seterusnya.

Dalam surat al-Rahman, Allah Swt. telah menyindir manusia yang sering kufur nikmat. Ayat “Fabi ayyi âlâ’i rabikumâ tukadzdzibân” yang berarti “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dsustakan?” diulangi dengan redaksi yang sama persis sebanyak 31 kali. 31 dari 78 ayat, nyaris setengah surat mengulang kalimat yang sama. “…Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” (Q.S. Ibrahim: 34).

Harta adalah titipan dari Allah Swt., seperti yang pernah dikatakan oleh KH Hasan Abdullah Sahal, salah satu pimpinan pondok modern Darussalam Gontor, “Tidak ada orang kaya di dunia ini. Yang ada hanya orang yang merasa dirinya kaya”. Begitu pula dengan kedudukan, kepandaian, muka yang rupawan, kehidupan, kesehatan, semuanya adalah anugerah Allah Swt yang dititipkan pada manusia. Jikalau Allah berkehendak, Allah bisa saja mengirimkan banjir, menebar penyakit, mencabut nyawa kita detik ini juga, dengan cara yang barangkali tak pernah kita sangka.

Karena itu bagaimana kita menggunakan dan memanfaatkan karunia tersebut sebagai wujud rasa syukur. Karena syukur bukan hanya ucapan hamdalah, syukur bukan hanya ucapan terima kasih pada-Nya. Tapi syukur juga tergambar dalam perbuatan. Bagaimana kita menggunakan kesehatan kita, uang kita, tangan kita, kaki kita, tetap bertujuan utama beribadah kepada-Nya. (Di samping tujuan sekunder yang lain yang sejalan)

Kita belajar, untuk apa kita belajar? Untuk menuntut ilmu. Mengapa kita menuntut ilmu? Karena Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk menuntut ilmu, bahkan Allah Swt. meninggikan kedudukan orang-orang yang berilmu dan beriman beberapa derajat. Kita bekerja keras siang malam, untuk apa? Untuk menghidupi keluarga. Mengapa? Karena Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk berlaku ihsan terutama kepada keluarga., karena Allah Swt. menetapkan anak-anak sebagai tanggungan orang tua, dan sebagainya.

Segala yang kita kerjakan, dimanapun, kapanpun, dengan siapapun, orangtua, sanak saudara, teman sejawat, suami atau istri, guru atau murid, pada hakikatnya adalah wasilah untuk mencapai keridhaan-Nya.

Jikalau cara pandang kita terhadap alam dan kehidupan sudah terfokus pada Allah Swt semata, ujian dan cobaan yang datang dapat ditempuh dengan lebih mudah. Kegembiraan dan kesedihan adalah cobaan, apakah manusia bersyukur atas kegembiraannya ataukah kufur? Akankah manusia berpaling dari Allah Swt., ketika musibah menerjangnya, ataukah semakin mendekatkan diri pada-Nya?

Kaya miskin, pendek tinggi, akankah kelebihan yang dikaruniakan membuat manusia bersyukur, semakin menundukkan hatinya kepada Sang Maha Pemberi Nikmat, ataukah menjadikannya takabbur? Segala keberhasilan dalam pekerjaan dan perbuatan kita sejatinya tercapai dengan izin Allah Swt. Sungguh sombong manusia yang mengira semua diraih oleh jerih payahnya semata. Jikalau Allah Swt. berkehendak, tidak mustahil kita hanya menorehkan kegagalan dan kesia-siaan.

Pada akhirnya, fenomena yang terjadi pada diri kita hanyalah cobaan dengan tanda tanya besar, apakah kita masih mengingat-Nya? Sang Arsitek manusia, alam dan kehidupan. Masihkah kita sadar bahwa kita adalah hamba-Nya? Wa’lLâhu a‘lam bi al-shawâb.


Thu, 11dec08, 11:15:26
Rabea el-Adawea
Allâhumma innaka ‘afuwwun karîm tuhibbu’l ‘afwa fa‘fu ‘annî ...
Selanjutnya

"TOLERANSI"

Thursday, May 8, 2008


Ketika Palestina digempur Israel, kita teriak,
"Syariat adalah penjajahan hak asasi!"

Ketika jilbab dilarang di Eropa, kita demo,
"Hancurkan fundamentalis!"

Ketika seni merajam moral, kita protes,
"Tegakkan kebebasan berekspresi!"

Ketika budaya freeseks merajalela, kita berontak,
"Hapuskan poligami!"

Ketika Irak dan Afghanistan dibombardir Amerika, kita mengangguk,
"Islam ajarkan kekerasan!"

Ketika homoseksualitas --yang kucing pun nggak mau melakukannya-- menjamur, kita bersabda,
"Hormati mereka sebagai manusia!"

Ketika ruhani dunia mengering, kita berfirman,
"Aturan Tuhan harus disingkirkan!"

Ketika "kebebasan" bergerak menuju kehancuran, kita lantunkan,
"Islam jumud!"

Siapakah diri kita...?

(jika pipi kirimu ditampar, berikanlah juga pipi kananmu)


rabea el-adawea [ 06:49:37--13jan07 ] Selanjutnya

OTENTISITAS AL-QURAN;

Monday, May 5, 2008
SEBUAH KENYATAAN SEJARAH


Urgensi Kodifikasi Al-Quran
Al-Quran merupakan landasan dan pegangan hidup bagi seorang muslim, sebagai konsekuensi dari syahadat. Kitab ini mengandung hal-hal pokok dalam ajaran agama Islam. Baik akidah, syariat, maupun akhlak. Selama berabad-abad umat Islam berusaha mengelaborasi kandungan al-Quran. Hasilnya, tumbuhlah sebuah peradaban besar yang berpandangan integral.

Walaupun begitu, perlu dicatat bahwa beberapa pihak berusaha menggoyang keyakinan umat Islam dengan mempertanyakan orisinalitas al-Quran. Di antara isu-isu yang disinggung adalah penulisan al-Quran di masa Rasulullah Saw., kemudian pengumpulan al-Quran untuk pertama kali pada kekhilafahan Abû Bakr dan terakhir pembakuan mushaf oleh ‘Utsmân ra.

Sistem Transmisi; Keistimewaan Al-Quran
Salah satu karakter dasar al-Quran yang unik adalah esensinya bukanlah tulisan, namun bacaan. Dengan sifat ini, perbedaan tulisan yang terjadi dalam usaha kodifikasi dan penyempurnaan rasm ‘Utsmâni menjadi tidak penting selama tidak menyalahi qirâ’ât mutawatir. Mengenai hal ini Ibn Al-Jazry menyatakan, “Sistem transmisi al-Quran yang berpatokan pada hafalan dan bukan tulisan adalah keistimewaan paling utama yang dikaruniakan Allah Swt. pada umat Islam.”

Tradisi hafal menghafal ini sudah mengakar erat dalam kehidupan para sahabat. Dalam Al-Itqân, Imam al-Suyûthi mengutip pemaparan Abû ‘Ubayd dalam kitabnya Al-Qirâ’ât bahwa al-Qâsim ibn Sallâm menyebutkan nama-nama 23 huffâz dari golongan Muhajirin, Anshar serta ummahâtu’l mu’minîn. Namun yang disebutkan hanyalah sahabat yang langsung menghafal di bawah bimbingan Rasulullah Saw. Sedang mereka yang tidak menghafalnya langsung dari Rasulullah Saw. masih sangat banyak. Hal ini senada dengan ungkapan Adz-Dzahaby pada pengantar kitab Thabaqâti’l Qurrâ’. Hal ini berarti al-Quran telah memasyarakat pada generasi pertama Islam.

Penulisan al-Quran di Masa Rasulullah
Al-Quran dalam bentuk hafalan memang sudah tersebar luas di kalangan sahabat, walaupun begitu usaha untuk mendokumentasikan al-Quran dalam bentuk tertulis telah dimulai sejak masa turunnya wahyu. Rasulullah Saw. menunjuk 43 orang sahabat untuk menulis al-Quran, di antara mereka Abû Bakar As-Shiddîq, ‘Umar ibn al-Khaththâb, ‘Utsmân ibn ‘Affân, ‘Ali ibn Abî Thâlib, Mu‘âwiyah ibn Abî Sufyân, Zayd ibn Tsâbit, Ubay ibn Ka’b, Khâlid ibn al-Walîd dan Tsâbit ibn Qays.

Mengingat keadaan Nabi Saw. yang ummiy, tak pelak lagi nilai integritas dan loyalitas para penulis wahyu sangat signifikan. Imam Bukhârî meriwayatkan dalam shahîhnya bahwa Ibn al-Zubayr bertanya kepada ‘Utsmân ra.: “Ayat wa’l ladzîna yatawaffauna minkum wa yadzarûna azwâjan sudah termansûkh dengan ayat lain, lalu mengapa engkau biarkan ia tertulis sedang engkau tahu?” ‘Utsmân menjawab: “Wahai anak saudaraku, aku tidak akan merubah (ayat) apapun dari tempatnya.” Secara logis, sesuatu yang sudah tergantikan harusnya dihapus, namun ‘Utsmân tidak melakukannya. Sikap ‘Utsmân yang demikian mencerminkan sifat amanah dan integritas yang tidak perlu dipertanyakan lagi.

Al-Hâkim dalam al-Mustadrak meriwayatkan kesaksian Zayd ibn Tsâbit bahwasanya pada zaman Rasulullah Saw., al-Quran dikumpulkan dari tulisan yang tersebar di pelepah kurma, kulit dan tulang. Akan tetapi al-Quran belum dibukukan hingga selesainya penurunan wahyu karena kuantitas dan kualitas huffâz pada masa itu mengurangi urgensi kompilasi al-Quran. Berkat hal ini juga perubahan susunan ayat yang berulangkali dapat dihindari. Meskipun demikian, beberapa sahabat seperti Ibn Mas‘ûd dan ‘Âisyah telah menyalin al-Quran sebagai inventaris pribadi, bukan sebagai rujukan bagi orang lain. Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa al-Quran dalam bentuk tertulis sudah terdapat pada periode Rasulullah Saw.

Kompilasi Pertama Al-Quran
Pada perang Yamâmah (12 H) yang dilancarkan untuk menumpas Musailamah al-Kadzdzâb, banyak huffâz yang syahid. ‘Umar ra. dengan jeli melihat bahaya apabila huffâz terus berguguran. Ia kemudian menyampaikan pendapatnya kepada Abû Bakr untuk mengumpulkan Al-Quran. Peristiwa bersejarah ini terekam dalam riwayat Bukhârî:
Zayd ibn Tsâbit berkata: “Aku menerima surat dari Abû Bakr tentang peperangan Yamamah, sedang Umar ibn Al-Khattâb bersamanya. Abû Bakr menulis: ‘Sesungguhnya ‘Umar mendatangiku dan berkata, ‘Sungguh perang Yamamah telah menelan korban banyak dari huffâz, dan aku khawatir perang-perang lain akan menimbulkan korban huffâz yang banyak pula hingga banyak bagian al-Quran akan hilang. Maka aku mengusulkan agar engkau mengumpulkan al-Quran’’ Aku berkata pada ‘Umar, ‘Bagaimana mungkin kita melakukan suatu perkara yang tak pernah diperbuat Rasulullah Saw.?’ ‘Umar menjawab, ‘Demi Allah, ini perkara yang baik.’ Kemudian ‘Umar membujukku hingga Allah Swt melapangkan dadaku untuk menerima dan menyetujui pendapatnya.’’” Zayd meneruskan, “Abû Bakr berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau pemuda yang cerdas dan kami tak mencelamu, engkau telah menuliskan wahyu bagi Rasulullah Saw., maka telusurilah al-Quran lalu kumpulkan. Demi Allah, apabila mereka menuntutku untuk memindahkan sebuah gunung tidaklah lebih berat bagiku daripada mengumpulkan al-Quran!’ Aku berkata, ‘Bagaimana mungkin kalian memperbuat sesuatu yang tak pernah dilakukan Rasulullah Saw.?’ Ia menjawab, ‘Demi Allah, ini perkara yang baik.’ Kemudian Abû Bakr membujukku hingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana Abû Bakr dan ‘Umar. Lalu aku menelusuri dan mengumpulkan Al-Quran dari pelepah Kurma, bebatuan dan hafalan. Hingga aku mendapatkan akhir surat At-Taubah pada Abû Khuzaymah yang tidak aku dapatkan dari sahabat selainnya ‘laqad jâ’akum rasûlun min anfusikum ‘azîzun ‘alayhi mâ ‘anittum’ sampai akhir surat. Kemudian suhuf tersebut berada di tangan Abû Bakr hingga wafat, lalu ‘Umar, dan akhirnya berpindah kepada Hafshah.”
Friedrich Schwally mengatakan bahwa kompilasi al-Quran pada periode Abû Bakr adalah fiktif. Menurutnya, riwayat di atas palsu karena jumlah huffâz yang meninggal pada perang itu sebenarnya hanya dua orang. Selain itu al-Quran sudah tertulis sejak masa Nabi Saw., sehingga syahidnya huffâz di perang Yamâmah tidak bisa dijadikan alasan.

Al-Thabari menyebutkan bahwa yang syahid pada hari itu berjumlah 300 orang. Sementara Ibnu Katsîr berpendapat 450 orang. Sedang menurut riwayat lain 70 orang. Walaupun berbeda, namun secara umum dapat kita simpulkan bahwa jumlah huffâz yang syahid memang banyak. Mengenai alasan kedua, al-Quran memang sudah tertulis, namun belum tersusun rapi. Kondisi demikian tidak menafikan urgensi sebuah mushaf resmi yang mempunyai otoritas. Apalagi jika dihadapkan dengan status shahîh hadits di atas, maka dapat dikatakan bahwa alasan Schwally tidak berdasar.

Dari riwayat Zayd ibn Tsâbit tadi, setidaknya kita bisa mengambil beberapa poin:
Pertama, motivasi pembukuan al-Quran di zaman Abû Bakr adalah kekhawatiran akan hilangnya al-Quran apabila huffâz terus berguguran seperti pada perang Yamamah.

Kedua, secara eksplisit hadits tersebut menyatakan bahwa ‘Umar ra. adalah orang yang pertama kali mengusulkan pembukuan al-Quran.

Ketiga, tidak didapatkannya dua ayat terakhir surat Barâ’ah –sebagaimana tersurat dalam hadits Zayd ibn Tsâbit- kecuali dari Abû Khuzaymah bukan berarti ayat tersebut tidak mutawatir. Al-Quran telah dihafal secara sempurna oleh banyak sahabat, tak terkecuali Zayd. Terbukti Zayd sendiri menghafal bagian yang “hilang” tersebut. Namun Zayd bersikap hati-hati dalam mengumpulkan al-Quran dengan memastikan wujud tulisan—di samping hafalan—sebagai bukti penguat eksistensi sebuah ayat.

Keempat, bagian akhir hadits menunjukkan bahwa mushaf pertama tersimpan di rumah Abû Bakr, lalu diserahkan pada ‘Umar, kemudian dipegang oleh Hafshah, dan pada akhirnya digunakan oleh ‘Utsmân untuk menjadi rujukan utama kodifikasi. Berarti al-Quran hasil kodifikasi ‘Utsmân masih berkaitan dengan mushaf Abû Bakr.

Kodifikasi di Masa ‘Utsmân ra.
Menanggapi kanonisasi al-Quran oleh khalifah ‘Utsmân, Arthur Jeffery (seorang orientalis asal Australia) menganggapnya tidak lepas dari alasan-alasan politis. Ia menyoroti keputusan ‘Utsmân untuk membakar mushaf selain mushafnya. Menurut Jeffery, ‘Utsmân akan mendapat keuntungan-keuntungan politis di balik usaha ini.

Namun tafsiran Jeffery ternyata salah. Sebab kodifikasi al-Quran di zaman ini dipicu oleh perbedaan bacaan yang tajam antar penduduk Iraq. Dalam shahîhnya Imam Bukhârî meriwayatkan:

“Hudzaifah ibn al-Yamân datang kepada ‘Utsmân. Ia memimpin penduduk Syam dan Iraq dalam penaklukan Armenia dan Azerbaijan. Ia merasa cemas dengan pertengkaran mereka dalam qirâ’ah. Maka Hudzaifah berkata kepada ‘Utsmân: “Wahai pemimpin kaum Muslimin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka bertengkar mengenai kitabnya sebagaimana yang telah terjadi atas Yahudi dan Nasrani.” Selanjutnya ‘Utsmân mengirim utusan kepada Hafshah dengan pesan: “Kirimkanlah kepada kami shuhuf (lembaran-lembaran). Kami akan menyalinnya kemudian akan kami kembalikan kepadamu.” Selanjutnya Hafshah mengirimkan mushaf kepada utsman yang kemudian memerintahkan Zayd ibn Tsâbit, ‘Abdullâh ibn al-Zubayr, Sa‘îd ibn al-‘Âsh dan ‘Abdurrahmân ibn al-Hârits untuk menyalinnnya ke dalam beberapa mushaf. ‘Utsmân berkata kepada kelompok itu: “Jika kalian berbeda pendapat dengan Zayd mengenai al-Quran, maka tulislah dalam dialek Quraisy, karena al-Quran diturunkan dalam bahasa mereka.” Selanjutnya mereka mengerjakan, hingga setelah menyalin shuhuf tersebut ke dalam mushaf-mushaf ‘Utsmâni, mereka mengembalikannya kepada Hafsah. Setelah itu ‘Utsmân mengirim mushaf yang telah mereka salin ke setiap daerah dan ia memerintahkan agar selain al-Quran, seluruh lembaran dan mushaf dibakar.”
Dari riwayat tersebut diketahui bahwasanya ‘Utsmân telah meminjam mushaf Abû Bakr sebagai rujukan pertama. Sehingga mata rantai bacaan mushaf ‘Utsmâni tidak terputus dan dapat dijamin kesahihannya.

Bentuk rasm mushaf ‘Utsmâni masih tidak berharakat dan tidak ber-syakl sehingga memberikan peluang bagi satu kalimat untuk dibaca dengan dua qirâ’ah atau lebih. Seperti : إن جاءكم فاسق بنبإ فتبينواbisa saja dibaca dengan إن جاءكم فاسق بنبإ فتثبتوا . Bentuk kalimat yang demikian ditulis dalam satu mushaf. Sedang bentuk kalimat yang tidak memungkinkan untuk dibaca dengan dua qirâ’ah ditulis dalam mushaf yang berbeda. Misalnya: dalam satu qirâ’ah dibaca ووصى بها إبراهيم بنيه ويعقوب sedang dalam qirâ’ah lain dibaca وأوصى بها إبراهيم بنيه ويعقوب , maka keduanya ditulis dalam mushaf yang berbeda. Dengan metode ini, praktis keseluruhan qirâ’ah mutawatir sudah terkandung di dalamnya.

Demi kevalidan qirâ’ah, ‘Utsmân ra. berinisiatif untuk mengirimkan seorang muqri’ (pembaca) yang sudah diakui kesahihan qirâ’ahnya bersama dengan setiap mushaf. Zaid ibn Tsabit muqri’ mushaf Madinah, ‘Abdullâh ibn Sâ’ib muqri’ mushaf Makkah, al-Mughîrah ibn Syihâb muqri' mushaf Syam, Abû ‘Abdirrahmân al-Salmâ muqri’ mushaf Kufah, dan ‘Âmir ibn ‘Abdi’l Qays muqri’ mushaf Basrah.

Untuk mengantisipasi perbedaan bacaan yang mungkin akan terjadi di kemudian hari, ‘Utsmân memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf selain mushaf ‘Utsmâni. Pada mulanya, ‘Abdullâh ibn Mas‘ûd dan Ubay ibn Ka‘b enggan membakar mushafnya, akan tetapi akhirnya mereka menerima pendapat ‘Utsmân lalu membakarnya.

Secara umum, keputusan ‘Utsmân sekitar al-Quran mendapat persetujuan dari para sahabat. Mengenai pembakaran mushaf selain ‘Utsmâni, ‘Ali ibn Abî Thâlib sendiri mengemukakan persetujuannya dengan keputusan tersebut, “Jika saya berada dalam posisi ‘Utsmân, maka saya akan melakukan hal yang serupa.”

Penutup
Demikianlah riwayat singkat al-Quran semenjak masa Rasulullah Saw. hingga kodifikasi pada kekhalifahan ‘Utsmân ra. Penulisan al-Quran dan kodifikasinya merupakan suatu hal yang wajib disyukuri oleh setiap Muslim. Dengan usaha tersebut, umat Islam terhindar dari perpecahan akibat perbedaan kitab suci. Kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa al-Quran tidak berubah hingga saat ini, sesuai dengan firman Allah Swt. “innâ nahnu nazzalnâ al-dzikra wa innâ lahû lahâfizhûn” (Al-Hijr: 14). Wa’Llâhu a‘lamu bi’l shawâb.
Selanjutnya

SELAMAT UJIAN

Wednesday, April 30, 2008

NGGAPRIL679 mengucapkan
selamat menempuh ujian term kedua. Mohon maaf lahir dan batin atas segala kesalahan yang tercipta, sengaja ataupun tidak disengaja. Semoga Allah Swt memudahkan kita dalam menjalani setiap ujian. Amien.
Selanjutnya

BREAKING THE HABIT

Sunday, April 27, 2008
Free Image Hosting at www.ImageShack.us

Mendengar judul lagu Linkin Park ini, sebuah kata bijak terlintas di benak, "Pertama kali, kitalah yang membentuk kebiasaan. Setelah itu, kebiasaanlah yang membentuk kita". Kerap kali kita berputar-putar pada sebuah rangkaian kebiasaan jelek. Pergantian waktu tak ubahnya sampah busuk. Dibuang dan dicampakkan. Tak merelakan malaikat mengusik cumbu rayu setan.

Hari itu bulat. Berputar. Kincir. Iblis. Berputar meneteskan air hitam, titik demi titik. Cermin pun pasrah tak berdaya. Hingga akhirnya nanti, cahaya surga tertutup. Kincir berhenti dan tinta mengering.

Cermin pun mengeras, bahkan batupun tak akan pernah dapat memecahnya. It is the end of the game... But there is always a passage, watch your habit from now on!




QuickPost Quickpost this image to Myspace, Digg, Facebook, and others! Selanjutnya

Istilah Ilmiah Salah Kaprah

Monday, April 14, 2008
Di kalangan masisir, marak penggunaan kata-kata ilmiah. Seperti kata-kata kodifikasi, kanonisasi, dan sebagainya. Kata-kata tersebut hampir bisa kita dapati di berbagai buletin. Baik yang berorientasi sosial seperti Informatika atau Terobosan. Maupun yang bersifat studi normatif-analitis, seperti Sinar Muhammadiyah dan Afkar.

Memang kata-kata ilmiah tersebut digunakan sebagai ungkapan atas istilah-istilah tertentu dalam bidang tertentu pula. Kata ilmiah juga berfungsi sebagai penanda. Dan umumnya, orang awam tidak menggunakan kata ilmiah karena memang mereka tidak mendalaminya. Berarti maraknya penggunaan kata ilmiah dalam masisir bisa kita katakan sebagai indikator keilmuan masisir.

Namun dalam beberapa kasus, terjadi kecerobohan dalam penggunaaan kata ilmiah tersebut. Sebagai dampaknya, pembaca bisa salah mengartikan atau minimal tidak memahami arah tulisan. Dalam Informatika dua-tiga edisi lalu, ditulis tentang tajdid. Sayang kata tajdid di sini disejajarkan dengan kata reformasi. Lalu jika kata tersebut disandingkan dengan agama menjadi tajdid agama atau reformasi agama.

Tajdid sangat berbeda dengan refomasi agama. Tradisi tajdid dalam Islam tidak menyentuh hal-hal mendasar dalam agama. Seperti masalah ketuhanan, akidah, dan prinsip-prinsip dasar syariat. Tapi reformasi mengandung pengertian yang berbeda. "Re" berarti pengulangan, dan "formasi" adalah struktur atau tatanan. Jadi reformasi agama merupakan perombakan struktur dalam agama.

Namun perombakan struktur tidak dilegitimasi dalam ajaran Islam. Merombak struktur sebuah keyakinan berarti merubah hirarki yang ada. Sedang wujud hirarki mengisyaratkan adanya tingkatan otoritas. Jika otoritas tersebut dirubah, boleh jadi yang semula berada di puncak, menjadi di bawah, atau sebaliknya. Celakanya, otoritas tertinggi dalam Islam berada dalam genggaman Allah Swt. Maka sejatinya reformasi keagamaan dalam Islam adalah sebuah kerancuan. Muhammad Iqbal sendiri lebih memilih kata rekonstruksi daripada reformasi untuk menerjemahkan tajdid. (lih. "Reconstruction of Religious Thought in Islam" – "Tajdîd al-Tafkîr al-Dînî fî al-Islâm").

Jika dirunut melalui kacamata sejarah, kata "Reformation" pertama kali dilontarkan oleh Martin Luther (pendiri Kristen Protestan) melalui gerakan pembaharuan di kalangan Gereja Eropa abad ke-16. (lih. http://id.wikipedia.org/wiki/Reformasi). Bahkan jika anda mencari entry "reformation" di Wikipedia, halaman yang terpampang bukannya sebagai gerakan sosial, namun reformasi dalam keyakinan Gereja (lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Protestant_Reformation).

Oke, katakan saja sang penulis memang berselisih pendapat dengan saya, dan benar-benar mengartikan Tajdid sebagai reformasi (layaknya Martin Luther). Sayangnya, dalam artikel tersebut tidak ditemukan indikasi yang menunjukkan tajdid dalam artian reformasi. Hal ini merupakan keanehan. Hingga muncul pertanyaan, apakah penulis menggunakan kata tersebut memang berdasarkan alasan ilmiah, ataukah hanya sebagai pemanis tulisan. Jika memang alasan ilmiah, mengapa tidak ada arti padanan yang pas? Dan jika memang digunakan agar tulisan kelihatan berbobot, maka telah terjadi kecelakaan.

Bagaimanapun juga, saya tidak bisa menyimpulkan motivasi pribadi sang penulis (atau boleh jadi sang editor?). Saya di sini tidak bermaksud melarang penggunaan istilah ilmiah, juga tidak bermaksud membatasi. Hanya saja prihatin akan penggunaan istilah ilmiah yang tidak tepat, apalagi yang cuma "asal keren". Karena bobot tulisan bukan dinilai dari banyaknya isme-isme yang dikandung… wa'Llâhu a‘lamu bi's shawâb. Selanjutnya

Islam Sebagai Jalan Hidup

Saturday, March 29, 2008
Apakah arti status kita sebagai seorang muslim? Apakah cukup seseorang dikatakan muslim jika telah mengucapkan syahadat? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, alangkah baiknya apabila kita merujuk kepada kisah awal penciptaan manusia. Bagaimana iblis dilaknat oleh Allah Swt. Padahal ia tahu dan yakin bahwa Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Esa. Namun karena kecongkakannya, ia menolak untuk bersujud hormat kepada Nabi Adam as. Sebab itulah, Allah Swt mengusirnya dari surga dan menjanjikan tempatnya kekal di neraka. Na‘ûdzu bi’lLâh min dzâlik…

Maka iman alias kepercayaan saja tidaklah cukup, dibutuhkan Islam sebagai bukti akan keimanan itu sendiri.

إِنَّماَ اْلمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتاَبُوْا وَجَاهَدُوْا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيْلِ اللهِ أُولئِكَ هُمُ الصَّادِقُوْنَ - الحجرات: 14

“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sejati adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Q.S. al-Hujurat: 14)

Adapun bentuk keislaman sendiri telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw sebagai uswah hasanah, teladan yang sempurna bagi umat manusia. Beliau adalah seorang yang sukses di berbagai bidang. Sebagai kepala keluarga, beliau berhasil menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga. Sebagai orang tua, beliau paling sayang terhadap anak cucu beliau. Sebagai pedagang, kejujuran beliau tersiar ke mana-mana, tak heran bila Siti Khadijah (yang juga saudagarnya) jatuh hati dan meminang beliau. Sebagai tetangga, beliau pun menjenguk tetangganya yang sakit, walau tetangga tersebut selalu melempari beliau dengan kotoran.

Tidak hanya berkisar pada keseharian, Rasulullah Saw. juga sukses dalam mengatur pemerintahan. Beliau berhasil membangun masyarakat madani yang majemuk dan penuh toleransi di Madinah saat dunia masih buta akan hak-hak asasi manusia. Di medan perang, pasukan muslim sangat diperhitungkan oleh musuh. Meski kabilah Quraisy dan kabilah-kabilah lain yang membenci Islam bersekutu dalam perang Ahzab, berkat pertolongan Allah Swt dan strategi yang jitu, Madinah berhasil dipertahankan.

Peran beliau yang menyeluruh sebenarnya menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang mencakup semua lini kehidupan. Kehidupan pribadi, keluarga, bertetangga, bermasyarakat, hingga bernegara. Tak satupun luput dari bidikan Islam.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوْا إِلاَّ إِياَّهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ اْلكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا - الإسراء: 23


“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah kecuali kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua. Jika salah satu atau keduanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada mereka “ah”. Janganlah engkau membentak mereka. Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Q.S. al-Isrâ’: 23)

Al-Quran pun telah mencantumkan kaidah dasar yang terpakai dalam pemerintahan

وَأَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ - الشورى: 38

“Dan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.” (Q.S. al-Syûrâ: 38)

Dalam perdagangan Allah Swt dengan jelas melarang riba

وَأَحَلَّ اللهُ اْلبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّباَ - البقرة: 275

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. al-Baqarah: 275)

Jadi, Islam merupakan jalan hidup. Ia lebih dari sekedar agama. Ia hadir tidak hanya di masjid. Namun ia hadir di rumah, sekolah, kantor, pasar, jalan, hingga terminal.

Bisakah Manusia Lepas dari Islam?

Setiap perbuatan manusia pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Tiada satu pekerjaan manusia yang terlepas dari pengawasan Allah Swt. Entah jual beli baju, laporan keuangan kantor, browsing internet, bahkan tukang ojek. Jika perbuatan kita baik, maka akan baik pula balasan yang akan kita dapat. Sebaliknya, bila amalan kita buruk, pantaskah kita mengharap pahala dan surga?

Dengan kata lain kehidupan kita di dunia berhubungan erat dengan kehidupan kita di akhirat. Islam menghargai manusia lahir dan batin. Kebutuhan manusia tidak hanya berkutat pada masalah uang, makanan dan air, tapi juga ketenangan batin, kepuasan ruhani dan kedekatan kepada Sang Khalik. Kebutuhan materi dapat dipenuhi dengan usaha keras dan doa, namun apakah kebutuhan ruh kita juga tercukupi dengan banting tulang memeras keringat?

Saat fajar tiba, Islam mengajak pemeluknya untuk bangkit, membuka semangat baru dengan menghadap Allah Swt. Di sela-sela terik, muadzin menyiram letih batin dengan panggilannya. Ketika bayangan memanjang hingga dua kali bendanya, Ashar tiba menjemput batin yang lunglai. Menyiramkan kesegaran baru untuk meneruskan hidup. Tatkala hari berakhir, shalat menjadi sandaran hati untuk berlabuh dan beristirahat. Tak hanya itu, Allah Swt pun turun ke langit dunia pada sepertiga terakhir malam, menunggu hamba-hamba-Nya yang mengadu segala resah dan kesah. Menumpahkan gelut batin yang membekap jiwa… Subhanallah, alangkah indah!

أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ اْلقُلُوْبُ - الرعد: 28


“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenteram.” (Q.S. al-Ra‘d: 28)
Jika keadaan batin sehat, usaha kita pun akan maksimal. Senyum terkembang, permasalahan dapat terpecahkan dengan tenang. Orang-orang di sekitar kita pun senang. Bila Allah telah menjadi penolong kita, maka tidak ada lagi yang perlu ditakutkan. Sesungguhnya Allah tidak akan mengingkari janjinya.

Ialah Islam, satu-satunya agama yang mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat, lahir dan batin. Tepat apabila Muhammad Iqbal mengatakan bahwa titel insân kâmil (manusia yang sempurna) hanya dapat dicapai oleh seorang muslim mukmin. Karena hanya seorang muslim mukminlah yang dapat menyelaraskan antara dunia dan akhirat, antara jiwa dan raga, ruh dan jasmani.

Islam sebagai jalan Hidup

Dari uraian di atas, tampaklah bahwa Islam adalah sebuah ajaran yang komplit. Islam tidak hanya sebatas kalimat yang diucapkan, tapi juga dipraktekkan dalam keseharian. Hanya dengan cara inilah Islam dapat berkembang.

Sejarah telah membuktikan, kebangkitan imperium Islam dari zaman Rasulullah Saw hingga dinasti Umawiyah di Andalusia (sekarang negara Spanyol) disebabkan oleh ketinggian budi umat muslim. Penduduk Andalusia yang kala itu dikuasai oleh kerajaan Gothic, mayoritas beragama Kristen dan Yahudi. Mereka terkesima oleh toleransi dan ketulusan prajurit Islam, bertolakbelakang dengan Raja Theodoric yang sewenang-wenang. Pasukan yang dipimpin Thariq bin Ziyad dianggap oleh masyarakat Andalus sebagai penyelamat ketimbang penakluk.

Sebaliknya, kehancuran dinasti Umawiyah bermula ketika umat Islam melupakan ajarannya. Para penguasa saling berebut kekuasaan dan kenikmatan duniawi, alpa akan tuntutan Allah Swt di hari hisab. Satu per satu daerah kekuasaan Islam melepaskan diri menjadi kerajaan sendiri. Tak jarang satu kerajaan menjalin kerjasama dengan pihak Kristen hanya untuk menghancurkan kerajaan Islam yang lain. Ironis.

Dengan demikian, sangat tepat bila Islam dikatakan sebagai sebuah jalan hidup. Kita sebagai muslim harus bangga menjadi bagian dari umat terbaik. Sebagai pemeluk satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah Swt.

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِاْلمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ اْلمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ - آل عمران: 110


“Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Kalian menyeru kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan kalian beriman kepada Allah.” (Q.S. Âli ‘Imrân: 110)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْناً فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ اْلخاَسِرِيْنَ - آل عمران: 85


“Dan barangsiapa menghendaki agama selain Islam, sekali-kali tidak akan pernah diterima (amalannya). Dan di akhirat, dia termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Q.S. Âli ‘Imrân: 85)

Selanjutnya pilihan menunggu di depan mata kita. Apa yang akan kita perbuat sesuai dengan status kita sebagai seorang muslim? Selanjutnya

IKPM Lighted Wallpaper

Tuesday, March 25, 2008
Free Image Hosting at www.ImageShack.us

Wallpaper kedua. Masih bermain-main dengan brush. Ditambah lighting effect, plus drop shadow. Just make it simple! ;)



QuickPost Quickpost this image to Myspace, Digg, Facebook, and others! Selanjutnya

IKPM Wallpaper

Monday, March 17, 2008
Free Image Hosting at www.ImageShack.us

Wallpaper pertama buat IKPM cabang Kairo. Semoga tetap eksis!



QuickPost Quickpost this image to Myspace, Digg, Facebook, and others! Selanjutnya

Worldview; Sebuah Pemahaman Awal

Friday, March 14, 2008
Seorang pemuda berjalan tertatih di pelataran kahyangan. “Seorang” ruh mengantarnya menghadap Dewa yang mengurusi kematian. Merasa ada yang aneh dengan pemuda tresebut, sang Dewa memicingkan mata. Tangannya sigap mengambil lembar catatan kematian, mencari nama orang asing itu.

Sejenak kemudian, mata sang Dewa terbelalak. Namanya tidak tercantum di daftar kematian, berarti dia masih hidup! Bagaimana mungkin seorang manusia hidup bisa mencapai alam kahyangan. Kahyangan gempar.

***

Di saat yang sama, kerajaan langit diobrak-abrik, Iblis bersama antek-anteknya bahu membahu menyusun kekuatan. Di sisi lain, para malaikat bersusah payah mempertaruhkan diri untuk mempertahankan gerbang kahyangan dari gempuran iblis di bawah pimpinan seorang Chuneen (pemimpin).

Keadaan menjadi semakin genting, perlahan gerbang langit pun bobol. Kahyangan dilanda panik. Para ruh yang menunggu peradilan lari tunggang langgang. Jika sampai ruh mereka dihancurkan iblis, mereka tak punya kesempatan untuk bereinkarnasi. Namun karena dahsyatnya serangan yang dilancarkan, korban pun berjatuhan.

Ruh malaikat berguguran, Chuneen –yang kebetulan diperankan oleh seorang wanita– tidak mampu berbuat banyak. Sang manusia hidup yang terseret ke alam ghaib akhirnya beraksi menyelamatkan Chuneen dan kahyangan.

(dari: Film The Restless)

***

Sekilas nampak lucu, bagaimana mungkin kahyangan bisa kebobolan setan. Lalu di mana otoritas dan superioritas Dewa selaku Tuhan? Mengapa ada Dewa yang tidak tahu menahu masalah penyusupan seorang manusia hidup di kahyangan? Bagaimana mungkin malaikat sebagai cermin kekuatan Tuhan bisa kalah, bahkan keselamatan kahyangan bergantung pada manusia?

Pertanyaan-pertanyaan di atas timbul karena kita menilai kejadian tersebut berangkat dari sudut pandang Islam. Dalam konsep Islam, Tuhan adalah sebuah Dzat yang Maha Segalanya. Superior dan bersifat mutlak. Laysa kamitslihi syai’un. Tidak ada satupun yang menyerupainya. Tuhan, surga dan neraka merupakan perkara ghaib, tidak mampu dijangkau oleh manusia dan tidak mungkin diketahui kecuali melalui wahyu.

Jika kacamata ini diaplikasikan, penggambaran yang dilakukan oleh sutradara film mengenai malaikat, dewa dan setan adalah hal yang rancu. Apalagi Islam tidak mengenal konsep reinkarnasi. Adegan-adegan film tersebut tak ubahnya lelucon kosong. Tak heran apabila ada yang melihatnya sambil –maaf– terbahak-bahak.

Padahal jika dilihat dari sudut pandang lain, poin-poin di atas boleh jadi dibenarkan oleh keyakinan sutradara beserta konsep-konsep yang turut di dalamnya. Bahkan sebaliknya, bagi mereka mungkin film tersebut justru mereka bisa mempertebal keyakinan.

Ternyata satu permasalahan bisa menimbulkan dua konklusi yang saling bertolakbelakang. Paradigma yang berbeda memproyeksikan suatu benda dengan bayangan yang berbeda pula. Berikut contoh dalam bidang kitab suci.

Wahyu dalam perspektif Kristen tidak lebih dari inspirasi yang diturunkan oleh Tuhan kepada para penulis Injil. Sedang tulisan Injil merupakan abstraksi subjektif mereka atas “inspirasi” tersebut. Mereka sebagai manusia tidak lepas dari pengaruh-pengaruh budaya, ideologi, pengetahuan serta lingkungan yang melingkupinya. Wahyu yang bersifat divine akhirnya menjadi profan.

Karena itu dapat dipahami apabila dalam Injil terdapat fakta-fakta yang kontroversial. Ditinjau dari segi rasionalitas ataupun korelasi antar ayat sendiri. Sebagaimana pernah diungkap oleh Maurice Bucaille dalam bukunya La Bible, le Coran et la Science. Akibatnya Bibel tidak bisa diinterpretasikan secara “mentah”. Subjektifitas penulis perlu dipisahkan dari substansi wahyu. Baru kemudian dicerna ulang sesuai konteks zaman dan ruang. Agar Bibel mampu eksis di tengah-tengah kontroversi.

Berbeda halnya dengan Kristen, konsep wahyu menurut Islam adalah lafzhan wa ma‘nan mina’lLâh, baik lafaz maupun artinya berasal dari Allah. Dengan kata lain, tidak ada campur tangan manusia dalam proses pembentukan wahyu. Kodifikasi sukses mengabadikan al-Quran dalam bentuknya yang paten. Karena itu, metode tafsir al-Quran tidak mengenal dikotomi teks-konteks, subjektif-objektif sebagaimana Kristen.

Apabila kedua konsep tersebut bercampur baur, muncullah produk-produk pemikiran yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Sebuah konsep Kristen apabila dinilai dengan sudut pandang Islam akan rancu. Begitu pula apabila konsep Islam dipandang dari kacamata Kristen. Aplikasi cara pandang yang sedemikian rupa pada akhirnya hanya akan merusak struktur sebuah keyakinan.

Permasalahan yang kita hadapi saat ini adalah infiltrasi pandangan hidup barat dalam relung-relung khazanah keilmuan Islam. Bukan lagi produk hukum yang diserang, akan tetapi sudah masuk pada ranah metode (minhaj). Tak heran apabila dalam beberapa kasus, terjadi kesimpulan hukum yang amat berbeda (baca: berseberangan) dengan jumhur ulama. Karena dibangun di atas epistemologi yang berbeda.

Akhirnya, aplikasi sebuah pandangan hidup (weltanschaaung) Islami merupakan sebuah hal yang mutlak bagi seorang muslim. Begitu juga karakter Islam. Agar kita dapat memahami lalu melaksanakan Islam secara kâffah. Wa’lLâhu a‘lam bi’s shawâb.
Selanjutnya