Ramadhan Bukan Kotak Sulap

Monday, August 31, 2009
Kita sudah sering dengar, kalau kita lulus puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, dosa-dosa kita akan diampuni oleh Allah Swt. Bahkan dijamin selamat dari panasnya api neraka, ‘itqun min an-nâr. Itu kalau lulus...

Pertanyaannya sekarang, apakah orang yang masih bermaksiat pasca Ramadhan bisa disebut “râsib”? Puasanya gagal? Orang yang amarahnya masih suka meletup, apakah berarti puasanya tidak sempurna?

Kita tidak sedang bicara masalah hukum. Menurut hemat penulis, perilaku manusia tidak akan serta-merta berubah hanya dalam satu bulan. Perilaku merupakan buah dari tabiat dan watak yang bersifat lebih permanen dan sulit dirubah.

Jikalau benar puasa Ramadhan saja cukup untuk merubah watak seseorang, ada dua teka-teki yang harus dijawab. Pertama, mengapa setelah bulan puasa, masih saja kemaksiatan dan kejahatan terjadi, kecil maupun besar, sedikit ataupun banyak. Kedua, mengapa juga ketika bulan Ramadhan, yang setan dibelenggu dan pintu neraka ditutup, maksiat—dalam bentuk apapun—masih terjadi?

Setan boleh saja dibelenggu, tapi manusia itu sendiri punya dua potensi, menjadi baik atau buruk. Dua potensi yang bertentangan ini sudah built-in, terinstall pada manusia sejak pertama kali diciptakan.

Sebuah pepatah berkata, awasilah gagasan yang melintas di otakmu, suatu saat ia bakal menjadi pikiranmu. Awasilah pikiranmu, kelak ia bakal menjadi perbuatan. Awasilah perbuatannmu, suatu ketika ia akan menjelma menjadi tabiatmu.

Jadi perjuangan menundukkan nafsu adalah proses yang berlangsung sepanjang tahun. Ramadhan bukan kotak ajaib yang bisa menyulap manusia jadi taat dalam sekejap mata. Ramadhan adalah bulan diskon, potongan harga, dimana Allah Swt. menawarkan maghfirah, rahmat dan hidayah-Nya bagi hamba-Nya yang tahu, mau dan mampu.

Jikalau maksiat kembali terjadi setelah Ramadhan, janganlah berputus asa. Karena sesungguhnya Allah Swt. tahu watak manusia dan kelemahannya. Kalaupun Allah Swt. berkehendak, manusia tidak akan diciptakan dengan nafsu. Andaikata Allah Swt. mau, Allah Swt. pasti sudah melenyapkan setiap manusia yang kafir dan bermaksiat dari muka bumi.

Namun mengapa itu tidak terjadi?
Karena sang Rahman masih setia menunggu hamba-Nya di pintu taubat...
Selanjutnya

Tafsir Quran Versi Marxis

Saturday, February 14, 2009
(Kritik Muhammad Imarah terhadap Mafhum al-Nash Nasr Hamid Abu Zayd)
Judul asli: al-Tafsîr al-Mârkisî lî al-Islâm

Di buku setebal 50-an halaman ini, Dr. Muhammad Imarah menyampaikan kritiknya terhadap pandangan Nasr Hamid Abu Zayd terhadap al-Quran. Sebelum mengulas dan mengkritik konsep al-Quran Nasr Hamid, Muhammad Imarah bercerita awal pertemuannya dengan Nasr Hamid Abu Zayd. Alkisah, suatu hari Dr. Imarah diundang untuk menghadiri sebuah seminar ilmiah. Di sana beliau bersua dengan temannya yang kebetulan seorang marxis.

Ketika berbincang dengan kawan lama tersebut, tiba-tiba seorang anak muda datang dan menyalami temannya tersebut. Sambil menyambut tangan pemuda tersebut, dia berkata bahwa pemuda ini adalah “ahsanu man yuhallil al-nash” (Penganalisa teks terbaik). Dr. Imarah lantas berpikir bahwa nash/teks di sini adalah teks-teks syair atau sastra. Sebab istilah teks memang digunakan untuk bidang tersebut.

Namun ketika membaca judul buku Nasr Hamid “Mafhum al-Nash: Dirasat Quraniyyah”, beliau terperangah. Kata “nash” (teks) disandingkan dengan al-Quran? Berarti al-Quran dianggap tidak lebih dari teks-teks buatan manusia yang lain? Mulai dari sinilah akhirnya Dr. Imarah memutuskan untuk terus mengikuti perkembangan pemikiran Nasr Hamid.

Buku fenomenal tersebut menuai gelombang resistensi yang dahsyat, puncaknya terjadi saat Abdus Shabur Syahin, ketua majelis yang mengurusi status Nasr Hamid, menyampaikan fatwanya bahwa Nasr Hamid murtad! Pernyataan ini disampaikan ketika khutbah di masjid Amru ibn Ash. Sebagai tindaklanjutnya, Nasr Hamid diceraikan dari istrinya dan diberlakukan atasnya hukum seorang murtad.

Namun Nasr Hamid tidak tinggal diam. Dengan terbuka ia menyampaikan pengakuannya bahwa ia masih muslim. Di sebuah surat kabar, ia menuliskan,” Saya muslim, dan saya bangga dengan keislaman saya…” Tidak hanya itu, ia juga menyatakan bahwa apa yang ia sampaikan mengenai al-Quran tidak lain hanyalah sebuah ijtihad. Dan ia tidak akan mencabut atau mundur dari ijtihad tersebut kecuali jika jelas bahwa apa yang dilakukannya benar-benar salah.

Mengenai perkara ini, Dr. Imarah turut menyumbang sikapnya. Dalam kacamata beliau, masalah pemikiran tidak boleh dihadapi dengan kekerasan. Namun dengan adu argumentasi, muqâra‘atul hujjah bil hujjah (istilah Dr. Thaha Dasuki Hubaisyi, ketua jurusan Akidah dan Filsafat fakultas Ushuluddin universitas Al-Azhar Kairo). Walaupun demikian Dr. Imarah memegang perkataan Nasr Hamid bahwa ia akan mencabut ijtihadnya jika salah. Lalu Dr. Imarah mengurai kerancuan di dalam “ijtihad” Nasr Hamid.

Setelah melakukan analisa yang dalam, Dr. Imarah berkesimpulan bahwa Nasr Hamid pada prakteknya telah mencangkok pandangan Marxis dalam studi al-Quran. Sebagai tambahan, Marxisme tidak mengakui ketuhanan. Apa yang ada di alam ini adalah hasil dari materi. Tiada apapun di balik materi selain materi itu sendiri. Segala proses yang ada di alam berangkat dari materi untuk kemudian kembali pada materi lagi.

Dr. Imarah melanjutkan penjelasannya, pandangan materialis seperti ini jelas merupakan musuh bagi seluruh agama (bukan hanya Islam). Pengingkaran terhadap hal-hal ghaib dan metafisika tidak mungkin digabungkan dengan agama (istihalatu jam’il naqidhain). Di atas asas yang ganjil inilah, Nasr Hamid membangun teorinya.

Hal paling mendasar yang disorot Dr. Imarah adalah pendapat Nasr Hamid bahwa al-Quran adalah produk budaya (Muntaj Tsaqafi). Al-Quran tidak lain merupakan hasil interaksi dengan realita. Interaksi dengan masyarakat Arab Quraisy waktu itu. Namun Dr. Imarah membantah, bahwa al-Quran turun dari sisi Allah Swt., tentunya ia mempunyai wujud lain di alam ghaib sebelum diturunkan ke dunia. Dan yang jelas, hujan yang turun dari langit memiliki wujud yang berbeda dari bumi, demikian analogi Dr. Imarah.

Sebagai penguat atas teori intaj tsaqafinya, Nasr Hamid mengatakan ada semacam keterpengaruhan antara para “hunafa’”, pengikut setia ajaran tauhid Nabi Ibrahim as. di masa jahiliyah, dengan ajaran yang tertera di al-Quran. Dengan demikian keterikatan al-Quran dengan sejarah dan realitas akan semakin kuat. Tanpa ragu-ragu, Dr. Imarah pun memberi catatan bahwa Nasr Hamid mungkin lupa bahwa Nabi Ibrahim as. pun mendapat wahyunya dari Allah Swt. jadi al-Quran tetap tidak tercemari dengan sifat profanitas. Itupun kalau teori keterpengaruhan tersebut benar, padahal teori ini sudah tersangkal sejak lama.

Di akhir pembahasan tentang al-Quran, Dr. Imarah menyatakan bahwa apa yang diyakini Nasr Hamid seputar al-Quran tidak selaras dengan pengakuannya bahwa ia seorang muslim. Sebuah pernyataan cerdas dan tidak menghakimi, namun sarat dengan makna. Karena itu, sebelum menutup pembahasan ini, Dr. Imarah menyertakan harapannya terhadap Nasr Hamid untuk membuka pikiran dan mengevaluasi teorinya…

Wallahu a’lam bis shawab…

Rabea el-Adawea, Sabtu, 8Nov2008, 10:16:57
Allahumma arinal haqqa haqqan warzuqnat tiba’ah, wa arinal bathila bathilan warzuqnaj tinabah

Selanjutnya

MEMAKNAI PENGHAMBAAN

Thursday, December 11, 2008
Bismillahirrahmanirrahim

Siapakah manusia?

Manusia adalah hamba Allah Swt., ia diciptakan dari segumpal tanah. Dan tujuan utama Allah Swt. menciptakan makhluk bernama manusia adalah agar ia menyembah-Nya. “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56-57)

Kalimat-kalimat di atas sudah sangat akrab di telinga kita. Berulang kali para dai tak bosan-bosan mendengungkan ayat-ayat dan himbauan untuk selalu mengingat hakikat manusia. Apakah manusia itu? Mengapa ia ada? Dan bagaimana? Untuk apa ia ada? Sampai kapan ia ada?

Tak semua pertanyaan-pertanyaan tersebut mampu dijawab oleh logika dan sains. Pada taraf tertentu, seorang manusia harusnya selalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Untuk apa ia hidup? Apakah ia hidup hanya untuk mati? Ataukah ia hidup untuk mengulangi siklus yang sama dengan hewan dan tumbuhan (lahir-bereproduksi-mati)? Adakah misi yang lebih tinggi yang harus dijalankan? Mengapa ia mengerjakan pekerjaan tersebut?

Kedudukan Manusia
Manusia tidak diciptakan begitu saja. Berawal dari kisah penciptaan, manusia telah mendapatkan berbagai penghargaan yang luar biasa dari Allah Swt.

Pertama, Setelah terciptanya Adam, malaikat dan iblis diperintahkan oleh Allah Swt.untuk bersujud kepada-Nya. Sujud ini bukan berarti sujud beribadah akan tetapi simbol kemuliaan manusia. Bahkan malaikat yang tak berdosa pun diperintahkan pula untuk bersujud pada manusia yang mempunyai nafsu.

Kedua, manusia mendapat kehormatan untuk menjadi khalifah Allah di bumi. Allah telah menciptakan bumi dengan segala isinya untuk maslahat manusia. “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi serta menurunkan air (hujan) dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan kehendak-Nya; dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagimu. Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus menerus beredar (dalam orbitnya) dan telah menundukkan malam dan siang bagimu.” (Q.S. Ibrahim: 32-33)

Ketiga, untuk mendukung tugasnya tersebut, Allah Swt. mengkaruniakan akal dan pengetahuan yang tak Ia berikan pada makhluk selain manusia. Mari kita simak kisah penciptaan manusia, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi’. Mereka berkata, ‘apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kamu bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya. Kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, ‘sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!’ Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kamu ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana” (Q.S. al-Baqarah: 30-32)

Menyadari Keberadaan Sang Pencipta
Walaupun telah dianugerahi penghargaan-penghargaan tersebut, sayangnya manusia sering lupa akan asalnya. Di sinilah Allah Swt. telah mengisyaratkan pada manusia untuk selalu bertadabbur, merenungi ciptaan-Nya di alam ini. Tak usah jauh-jauh menyelidiki keajaiban dan kedahsyatan penciptaan hingga melacak sisa gelombang radiasi Big Bang yang terjadi trilyunan tahun lalu atau mempelajari struktur DNA yang rumit. Kita bisa mulai dari kejadian-kejadian sederhana di sekitar kita.

Ketika hari hujan, pernahkah kita berpikir, mengapa air turun ke bawah? Jikalau Allah Swt. berkehendak bukannya tak mungkin air hanya mengambang di udara. Mengapa hujan turun berupa titik-titik? Jikalau Allah Swt. berkehendak, bukannya tak mungkin hujan turun bak air dalam ember yang ditumpahkan. Tentu hanya kerusakan dan kehancuran yang terjadi. Berawal dari tetesan air, udara dan tanah yang sama, mengapa rasa pisang berbeda dengan mangga? Mengapa pula bunga berwarna-warni? Mengapa kambing jinak? Mengapa daging sapi bisa dimakan? Mengapa, mengapa dan seterusnya.

Dalam surat al-Rahman, Allah Swt. telah menyindir manusia yang sering kufur nikmat. Ayat “Fabi ayyi âlâ’i rabikumâ tukadzdzibân” yang berarti “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dsustakan?” diulangi dengan redaksi yang sama persis sebanyak 31 kali. 31 dari 78 ayat, nyaris setengah surat mengulang kalimat yang sama. “…Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” (Q.S. Ibrahim: 34).

Harta adalah titipan dari Allah Swt., seperti yang pernah dikatakan oleh KH Hasan Abdullah Sahal, salah satu pimpinan pondok modern Darussalam Gontor, “Tidak ada orang kaya di dunia ini. Yang ada hanya orang yang merasa dirinya kaya”. Begitu pula dengan kedudukan, kepandaian, muka yang rupawan, kehidupan, kesehatan, semuanya adalah anugerah Allah Swt yang dititipkan pada manusia. Jikalau Allah berkehendak, Allah bisa saja mengirimkan banjir, menebar penyakit, mencabut nyawa kita detik ini juga, dengan cara yang barangkali tak pernah kita sangka.

Karena itu bagaimana kita menggunakan dan memanfaatkan karunia tersebut sebagai wujud rasa syukur. Karena syukur bukan hanya ucapan hamdalah, syukur bukan hanya ucapan terima kasih pada-Nya. Tapi syukur juga tergambar dalam perbuatan. Bagaimana kita menggunakan kesehatan kita, uang kita, tangan kita, kaki kita, tetap bertujuan utama beribadah kepada-Nya. (Di samping tujuan sekunder yang lain yang sejalan)

Kita belajar, untuk apa kita belajar? Untuk menuntut ilmu. Mengapa kita menuntut ilmu? Karena Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk menuntut ilmu, bahkan Allah Swt. meninggikan kedudukan orang-orang yang berilmu dan beriman beberapa derajat. Kita bekerja keras siang malam, untuk apa? Untuk menghidupi keluarga. Mengapa? Karena Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk berlaku ihsan terutama kepada keluarga., karena Allah Swt. menetapkan anak-anak sebagai tanggungan orang tua, dan sebagainya.

Segala yang kita kerjakan, dimanapun, kapanpun, dengan siapapun, orangtua, sanak saudara, teman sejawat, suami atau istri, guru atau murid, pada hakikatnya adalah wasilah untuk mencapai keridhaan-Nya.

Jikalau cara pandang kita terhadap alam dan kehidupan sudah terfokus pada Allah Swt semata, ujian dan cobaan yang datang dapat ditempuh dengan lebih mudah. Kegembiraan dan kesedihan adalah cobaan, apakah manusia bersyukur atas kegembiraannya ataukah kufur? Akankah manusia berpaling dari Allah Swt., ketika musibah menerjangnya, ataukah semakin mendekatkan diri pada-Nya?

Kaya miskin, pendek tinggi, akankah kelebihan yang dikaruniakan membuat manusia bersyukur, semakin menundukkan hatinya kepada Sang Maha Pemberi Nikmat, ataukah menjadikannya takabbur? Segala keberhasilan dalam pekerjaan dan perbuatan kita sejatinya tercapai dengan izin Allah Swt. Sungguh sombong manusia yang mengira semua diraih oleh jerih payahnya semata. Jikalau Allah Swt. berkehendak, tidak mustahil kita hanya menorehkan kegagalan dan kesia-siaan.

Pada akhirnya, fenomena yang terjadi pada diri kita hanyalah cobaan dengan tanda tanya besar, apakah kita masih mengingat-Nya? Sang Arsitek manusia, alam dan kehidupan. Masihkah kita sadar bahwa kita adalah hamba-Nya? Wa’lLâhu a‘lam bi al-shawâb.


Thu, 11dec08, 11:15:26
Rabea el-Adawea
Allâhumma innaka ‘afuwwun karîm tuhibbu’l ‘afwa fa‘fu ‘annî ...
Selanjutnya