Berhenti Sejenak

Tuesday, June 19, 2007
Kesepian tak bermakna, kesia-siaan tak memberi, apatah kita ini? Seonggok ilusi yang bergerak. Bayangan yang terpantul pada layar mata. Adakah semua itu nyata?

Sebagian orang tertawa, sebagian lain menangis. Betapa hidup berubah, bertolakbelakang, berulang. Sementara sebagian orang membanting tulang mencari selembar rupiah, sebagian lain mencari tempat sampah untuk membuang segepok dolar.

Orang hidup lalu mati, tersenyum lalu menangis, kaya lalu miskin, sehat kemudian sakit. Apakah yang kita tuju? Dunia hanya sebatas kelopak mata, keabadian bukan miliknya. Mantapkan langkah, tegarkan hati. Meniti jalan, menapak bumi, menggapai ridho Ilahi...
Selanjutnya

Rumah Es - 3

Friday, June 8, 2007

“Lex… Lex…” Aku terperanjat. “Siapa itu?” Kepalaku berputar mencari suara.

“Lex… Lex…” Aku menoleh. Mataku terbelalak, tak percaya apa yang kulihat. Dinding bisa berbicara? Tidak mungkin!

“Hahaha…” Sofa dan meja tertawa terbahak-bahak.

Wajahku memucat. Hantukah. Suara-suara aneh itu berhenti. Rumah kembali sepi. Senyap. Hawa dingin masuk lewat sela-sela jendela.

Aku harus mengakhiri kebekuan ini. Akan kubuktikan, ini bukan rumah es. Ada api di rumah ini. Yang bisa menghangatkan hati. Membangkitkan semangat. Menyalurkan energi pada alam.

Namun aku teringat kata-kata Lynd tempo hari. Mungkinkah aku terjebak juga pada khayalan. Khayalan tentang api dalam rumah. Bunga di musim dingin. Ah, tidak. Impianku bukan khayalanmu, Lynd.

Di rumah ini...
Kita pernah impikan kebahagiaan.
Kita pernah impikan hangatnya sebuah senyuman.
Kita pernah impikan indahnya canda tawa.

Aku harus bisa, tekatku. Aku tak kan lari. Demi sebuah harapan dan impian. Tanganku meraih korek lalu menggeseknya lagi dan lagi…

Selanjutnya

Rumah Es - 2

Thursday, June 7, 2007

“Jangan jadi seorang utopis. Itu kan cuma ada dalam khayalan. Tidak mungkin terjadi di sini. Khayalan memang selalu indah, Lynd.”

“Apa berkhayal itu salah? Aku sudah cukup muak dengan musim dingin. Mungkin menurutmu khayalan tak berguna. Namun sebagian orang lebih suka hidup dalam khayalan. Bagi mereka, kenyataan terlalu pahit. Hidup tak semudah yang kau bayangkan, Lex.”

“Lalu jika khayalanmu tidak kau dapatkan, apa yang kau perbuat?”

Lynd tertegun sejenak. Dengan wajah tertunduk ia menjawab singkat, “Pergi…”.

“Lalu, jika tak kau dapatkan lagi. Kau akan pergi lagi dan lagi? Sampai kapan kau akan terus lari dari kenyataan, Lynd. Menyingkir dari hidup…”

“Sudah, cukup!” tukasnya. “Aku terlalu sering mendengar ocehan serupa. Hampir setiap orang. Akhirnya mereka hanya bisa berbicara dan berbicara sampai mulut mereka berbusa. Tapi pahitnya kenyataan tak berubah, Lex!”

“Tapi kita harus realistis, Lynd. Memandang hidup yang sebenarnya…”

“Khayalan adalah jawaban yang paling realistis, Lex!”

“Ingat itu…” kata Lynd menangis sesenggukan. Ia kemudian masuk ke kamarnya. Meninggalkanku terpaku di depan tungku.

Yah… Aku tak habis pikir, sebegitu mudahkah mereka meninggalkan rumah ini. Hanya karena dingin. Hidup tanaman pun tak lagi dihiraukan. Udara terlalu dingin, kata mereka.

Mengapa tidak berusaha menghangatkannya?

Cklek… pintu kamar Lynd terbuka. Ia berdiri mengenakan jaket bulu kesayangannya. Jaket bulu pemberian bibinya. Tangan kirinya menggenggam tali koper. “Aku pergi…”, putusnya.

Aku terdiam. Benarkah yang kudengar. Bahkan, keceriaan Lynd pun tak mampu membuatnya bertahan.

“Jaga dirimu baik-baik, Lex”

Aku tak kuasa bergerak. Aku kehilangan senyum terakhirku. Senyum Lynd. Pandanganku kabur. Air mulai menetes di sudut mata. Matt… Lynd…

TIDAK! Aku buka mataku. Memoriku terus memutar peristiwa hari mengerikan itu, berulang-ulang. Seminggu ini pula hidupku diteror mimpi buruk. Sebuah episode penuh kebekuan, emosi, dan prasangka.

Selanjutnya

Rumah Es - 1

Sunday, June 3, 2007

Angin berhembus dingin. Melintasi pepohonan. Mengasingkan hangat.

Bocah itu meringkuk di depan perapian. Wajahnya muram termangu. Menggigil di tengah dingin.

“Aku harus bisa,” gumamnya.

Tangan lusuhnya meraih kotak korek. Dibukanya. Ah, batang terakhir, katanya sembari menggesekkannya. Crek..crek… Tak ada api menyala. Dasar korek tua. Habis sudah… Minyak yang sedari tadi dia tumpahkan di atas kayu bakar mulai membeku.

Sudah seminggu ini api tak jua menghangatkan rumah. Padahal musim dingin semakin menjadi-jadi. Rumah sederhana tidak cukup menahan hawa dingin di kaki gunung. Kedua temannya sudah lima hari yang lalu angkat koper. Terlalu dingin, kata mereka. Lebih baik mencari rumah yang lebih hangat dari pada mati beku di rumah sendiri.

“Masa rumah kita mau ditinggal begitu saja?”
“Terserah kamu. Kalau memang masih mau tinggal di sini ya sudah. Aku tetap akan pergi.”
”Lalu bagaimana dengan tanaman hiasmu? Siapa lagi yang bisa merawatnya kalau bukan kamu?”
”Persetan dengan tanaman itu. Sejak musim panas pergi, tak ada gunanya membuka jendela untuk matahari. Rumah ini terlalu dingin.”

Lex tak bisa berkata-kata mendengar jawabannya.

“Minggir, biarkan aku pergi,” kata Matt sambil mendorong tubuhnya dari pintu.

Tubuh kecil Lex terjerembab. Memandangi langkah Matt yang semakin menjauh dan menjauh. Hingga akhirnya menghilang di tikungan. Akhirnya Matt pergi…

Padahal ketika musim panas, tanaman itu berbunga indah. Harum. Beberapa tetangga mampir untuk sekedar melihat bunga itu. Aku, Matt juga Lynd rajin merawat mereka Namun sekarang… hhh…

“Andai setahun penuh musim panas ya. Matahari hangat menyinari. Bunga-bunga bermekaran. Orang-orang turun dan bermain di jalanan. Piknik ke danau. Ah, seandainya…” kata Lynd, mukanya menengadah. “Ya, nggak?” tengoknya sambil tersenyum manis.

Aku tersenyum juga melihat mukanya yang ceria. “Iya juga sih, tapi…”

Alis Lynd terangkat. “Tapi apa?”

Selanjutnya