Episode 20 (Acknowledgement)

Tuesday, April 24, 2007
Thanks to:

Allah Swt. The Most Gracious who gave me an amazing opportunity to life. Ampunilah hamba-Mu yang tak tahu diri ini. Bimbinglah hamba agar tak lepas dari jalan-Mu. Kuatkanlah hamba agar bisa berjuang li i'laai kalimatillah. Li annal islaama ya'luu wa laa yu'laa alaih.

Rasulullah Muhammad Saw. The seal prophet. Semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan atas dirimu, ya mushthafaa.

Ibu dan bapak di rumah, terimakasih atas segala kasih sayang yang diberikan.

Bu, ternyata mengurus rumah itu sulit ya, capek. Apalagi kalau setiap hari. Bangun tidur terus masak, lalu ke kantor. Sepulang kerja tidur sejenak atau nyuci baju. Setelahnya masak buat makan malam. Kemudian membereskan dapur dan meja makan. Ibu pasti capek. Maafkan aku rewel dan bandel...

Pak, ternyata mengurus keluarga itu nggak mudah ya. Terkadang ada kesalahpahaman. Terkadang rasa ikhlas ini hilang. Terkadang juga kesepahaman dan kekompakan luntur. Terkadang di sini aku merasa sedingin kutub. Namun bapak mampu menunaikannya dengan baik. Maafkan aku atas egoku...

Dek Tika yang lagi kuliah... terkadang aku merasa geli juga pas ingat dulu. Hampir setiap hari bertengkar. Nggak ada hari tanpa perang, hehehe... Sekarang rasa kangen itu muncul, ketika kita sudah jauh terpisah.

Dek Tito... Kapan-kapan main Gundam lagi yo ^_^ . Waktu itu pasti Deathschyte-ku nggak bisa dikalahkan, chayoo. Kalau perlu maen bola, dijamin gawangku nggak bakal kebobolan. Ingat, anda berhadapan dengan S.G.G.K (Super Great Goal Kiper)! Huehehehe...

Mbah Ti, Mbah Balen sama Mbah Kung... Maafkan segala salahku. Semoga selalu dikaruniai nikmat iman, Islam, dan kesehatan. Amieen...

Mas Pek, Mbak Dian n Mas Dedi, Mbak Esti, Mas Didit, Mbak Ririt, Dek Aan, Dek Saliyah :D Jadi pingin rekreasi bareng nih. Di sini nggak ada pemandian belerang kayak di Perataan. Adanya mandi debu di gurun, hehe...

Dek Iyan di Bandung, Dek Win sama Dek Happy di Malang, Dek Dita di Bojonegoro... Kapan-kapan ngirim email ya, biasanya di kampus kan ada internet. Oya, jangan keseringan TA, hehehe... Selamat berjuang di rantau tuk menggapai cita ;) . Adik-adiknya sekalian dijaga.

Dek Lisa Rastiti, Dek Dila, Dek Bagas, Dek Fia (aduh lom sempat ketemu, hiks), Dek Bagus, Dek Yayak...Selamat menempuh ujian. Moga sukses!

Juga buat Dek Ima, Dek Ami, Dek Kadafi, Dek Tofa, Dek Tul, Dek Vidi, Dek Vio, Dek Viodi, Dek Vino, Dek Danik, Dek Iva, dan seterusnya... I'll miss u all.

Lek Bud sekeluarga di Surabaya
Lek Umi sekeluarga di Lampung
Lek Lif sekeluarga
Lek Yul sekeluarga
Lek Endang sekeluarga
Lek Eni sekeluarga
Lek Pud sekeluarga
Lek Ida sekeluarga di Lampung
Lek Agus sekeluarga
Lek Ton sekeluarga di Jogja

Juga buat seluruh keluarga di Bojonegoro, Madiun, Tasikmalaya, Solo, dst.

Yudha, Asa, Andik... Kapan reuni nih. Main kelereng lagi kayak dulu, haha... Tim sepakbola Klangon seri-A yang tergusur oleh bangunan, pengen maen bola.

AHDA, thanks dah menemani aku belajar dari MI sampe sekarang, moga-moga nggak bosen :D. NURMA, thanks buat saran dan dukungannya. Ntar kenalin aku sama anakmu ya, huehehe...

Teman2 Blitza dan Tanafouz... mari kita ukir sejarah bersama-sama. Kita punya orang-orang yang penuh potensi. Teman2 ISBAT dan Robah... thanks buat segalanya. Terkadang pahit untuk mengakui sebuah kekurangan, namun itu lah yang terbaik.

Asatidz dan para guru... aku tak bisa seperti ini tanpa jasamu.

Dan semuanya yang tidak tersebut namanya, aku minta maaf atas segala kesalahan yang pernah aku lakukan. Semoga di tahun-tahun mendatang, aku mampu merubah diri menjadi lebih baik. Amieen...

اللهم أصلح لنا ديننا الذي هو عصمة أمرنا
اللهم أصلح لنا دنيانا التي هي معاشنا
اللهم أصلح لنا آخرتنا التي هي معادنا
Selanjutnya

Hanyut dalam Diam

Wednesday, April 18, 2007

Kau tak kan merasa, ada orang yang mengharap dirimu.

Kau tak kan sadar, ada orang yang tersiksa karna terus ingatmu.

Kau tak kan tahu, ada orang yang selalu dihantui bayangmu.

Kau tak kan mengerti, perasaan orang yang ingin melupakanmu.

Kau tak kan paham, keinginan orang yang menanti hatinya patah.

Kau tak kan mendengar, rintihan orang yang menahan perih.

Kau tak kan melihat, senyum orang itu palsu.

Karna ku memilih... diam...

--Ayoo doong, Semangat!! Semangat!!--
Selanjutnya

Perang Demi Cinta

Tuesday, April 17, 2007
"Fundamentalis," "ekstrimis," "teroris." Sebutan-sebutan seperti itu sudah seringkali kita dengar. Di koran, radio, televisi, ruang diskusi, majalah, dan berbagai media massa.

Umumnya, label-label di atas dinisbahkan kepada orang-orang yang menempuh jalan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Walaupun menurutku penisbahan label tersebut sangat tidak berimbang. Hanya kelompok-kelompok Islam tertentu yang selalu disebut seperti itu, sementara kelompok keras (non-Islam) yang lain sama sekali tidak disentuh...

Sayangnya lagi, kekerasan yang dilakukan oleh segelintir kelompok itu digeneralisir untuk mensifati kelompok yang lebih besar (baca: Islam). Padahal apabila benar kekerasan adalah sifat kelompok besar itu, niscaya dengan jumlah pengikut yang sangat memadai, peperangan terbuka pasti sudah terjadi merata di seluruh bumi. Dari sini tampak bahwa generalisasi stigma 'teroris' terlalu dipaksakan.

Sekarang bukan zamannya lagi menggunakan kekerasan. Masa kekerasan sudah lewat (seharusnya). Oleh sebab itu, peran dan kemampuan intelektual lebih diutamakan.

Akan tetapi, sebelum membahas lebih jauh. Be Te We, kekerasan itu apa sih? Apakah perang itu selalu merupakan kekerasan? Bukankah ada juga yang bernama 'penjajahan intelektual', 'penjajahan budaya', 'penjajahan ekonomi'? Pantaskah kekerasan diukur melalui kegiatan fisik? Apakah perang itu jelek?

Dahulu bangsa Indonesia dijajah habis-habisan oleh Belanda, Inggris, Jepang, de es te. Lebih dari 350 tahun (bayangkan...) juta an orang hidup menderita di bawah lars kolonial.

Coba, andai saja tidak ada perlawanan (perang) terhadap penjajah, mau jadi apa bangsa ini? Akankah kita tetap bisa menghirup kemerdekaan?

Jika dahulu tidak muncul pejuang-pejuang macam Panglima Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, Cut Nyak Dien, dll., bisakah kita mulai membangun bangsa kita saat ini?

Perang memang menyakitkan. Nyawa-nyawa berguguran. Ibu kehilangan anak. Anak kehilangan bapak. Infrastruktur hancur lebur.

Namun jangan kira mereka bersedih lalu kecil hati. Mereka lebih memilih mati daripada harus hidup terjajah. Segalanya dipertaruhkan demi kemerdekaan. Karena harta dan nyawa tak sebanding dengannya.

Mereka berperang atas nama cinta. Cinta akan kemerdekaan, tanah air... Cinta akan kebenaran...

Berdiam diri atas suatu kebatilan adalah batil.

Karena itu seluruh bangsa Indonesia sepakat: MERDEKA ATAOE MATI!!
Selanjutnya

Realitas Maya 'Cinta'

Monday, April 16, 2007
Heran ya, sebenarnya manusia adalah makhluk yang sangat kreatif. Dari segi manapun, akal manusia bisa melihat dan mencipta. Walau dalam keterbatasan...

Ngg.. Kalo menurutmu, aneh nggak kalo hampir (nyaris) semua lagu bertemakan cinta. Khususnya antar lawan jenis. Ditambah dengan film-film yang isinya juga nggak jauh beda.

Di sini aku bukannya mau menafikan arti cinta. Cinta memang mampu mengubah gelap menjadi terang. Namun masih saja tersisa pertanyaan, cinta yang bagaimana?

Selama ini yang digembar-gemborkan dalam media adalah cinta antar lawan jenis. Lengkap dengan tata cara membina hubungan (ala...). Jadi sudah ada pedomannya (berdasarkan...).

Yang menjadi masalah, menurutku 'cinta' tampak terlalu dibesar-besarkan. Sampai-sampai dalam lagu disebutkan, "Aku tak bisa hidup tanpamu", "kuserahkan hidup matiku hanya untukmu". Di antara lirik-lirik yang paling membuatku malu, "Aku adalah lelaki yang tak pernah menyerah mencari wanita..." Seakan-akan harga hidup ini hanya semurah itu... Benarkah?

Di film-film, orang berebut cinta. Orang ramai-ramai membuat kebahagiaan semu lalu menangisinya tatkala hilang. Tak putus asa, mereka membangun lagi kesemuan itu dan menangisinya tuk kesekian kali. Apa nggak enak langsung nikah saja?

Memang dalam seni, majas hiperbola adalah sesuatu yang amat lazim. Namun seni juga berpengaruh pada kejiwaan serta pikiran. Akal kita seakan menemui jalan buntu. Ke sana ada 'cinta', ke sini ada 'cinta'. Lambat laun kita mengira bahwa ya hanya itu adanya.

Ya, kita harus punya mata untuk melihat sesuatu di luar 'cinta' yang sempit. Ada cinta yang lebih luas, cinta tanah air, cinta alam, cinta keluarga, cinta orang tua, cinta terhadap kebenaran, cinta agama, cinta Rasulullah, cinta kepada Ia yang telah menciptakan kita, memberi kesempatan kita untuk hidup. Cinta kepada Sang Maha Pengasih yang telah memberi kita cinta...

"Cinta itu tak punya mata, namun kita harus punya mata," demikian pesan Om Gazar pada Dion di penghujung hayatnya (dari Film: I Love U, Om).
Selanjutnya

Ngawur

Friday, April 13, 2007
Hmm... Indonesia...

Konon sih, katanya Indonesia itu negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia. Bahkan penduduk negara-negara Arab pun segan bila mendengar nama negeri berjuluk Zamrud Khatulistiwa ini.

(Sori, kehabisan bahan nulis. Pindah topik aja yah ^_^)

Siapa yang nggak pernah denger Empat Mata? Ngaku hayoo. Katroo bangeet, hehehe... Acara komedi ini dipandu oleh host yang keren abizz, Mas Tukul Arwana. Katanya neh, laptopnya buat semua orang ngiri. Gayanya yang khas dan vulgar mampu mengocok perut semua orang. Yahh, itung-itung refreshing. Lumayan, bisa sejenak melupakan beban hidup.

Ohya, ni ada titipan dari dalam hati. Katanya minta dituliskan di blog. Baca aja yaa, tapi nggak usah terlalu dimasukkkan hati, cukup taruh di atasnya aja ^_^

Yang aku nggak habis pikir, kenapa harus (maaf) paha-paha rok miniers yang menjadi latar belakang Mas Tukul Arwana pas diclose-up?
Kenapa si cewek musti berpakaian minim?
Kenapa hampir setiap artis cewek yang diundang kebagian chick to chicknya Mas Tukul?
Kok sepertinya mereka nggak merasa bersalah sama sekali, padahal seperti yang dikatakan pada episode Valentine kemaren, istri Mas Tukul setiap tampil hadir di studio. Memang apa sih arti pernikahan itu?
Pada edisi itu pula dengan jelas istri beliau mengatakan, "jodoh dan rezeki itu di tangan ALLAH," tapi mengapa masih saja...?
Apa memang berciuman di depan umum sekarang menjadi wajar?
Benarkah itu kebebasan?
Itukah yang bernama modern dan beradab?
Di mana moral kita?
Sebegitu banyakkah kita berubah?
Lelahkah kita terombang-ambing dalam ketidakpastian?
Ke mana kita berkiblat?
Siapa diri kita?
Kenapa kita hidup?
Buat apa?
Apa sih kita?

Maaf kalo tulisan kali ini agak 'panas'. Mohon dimaklumi, coz yang nulis cuman anak kecil yang nggak tahu apa-apa. Chayoo...
Selanjutnya