"Fundamentalis," "ekstrimis," "teroris." Sebutan-sebutan seperti itu sudah seringkali kita dengar. Di koran, radio, televisi, ruang diskusi, majalah, dan berbagai media massa.
Umumnya, label-label di atas dinisbahkan kepada orang-orang yang menempuh jalan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Walaupun menurutku penisbahan label tersebut sangat tidak berimbang. Hanya kelompok-kelompok Islam tertentu yang selalu disebut seperti itu, sementara kelompok keras (non-Islam) yang lain sama sekali tidak disentuh...
Sayangnya lagi, kekerasan yang dilakukan oleh segelintir kelompok itu digeneralisir untuk mensifati kelompok yang lebih besar (baca: Islam). Padahal apabila benar kekerasan adalah sifat kelompok besar itu, niscaya dengan jumlah pengikut yang sangat memadai, peperangan terbuka pasti sudah terjadi merata di seluruh bumi. Dari sini tampak bahwa generalisasi stigma 'teroris' terlalu dipaksakan.
Sekarang bukan zamannya lagi menggunakan kekerasan. Masa kekerasan sudah lewat (seharusnya). Oleh sebab itu, peran dan kemampuan intelektual lebih diutamakan.
Akan tetapi, sebelum membahas lebih jauh. Be Te We, kekerasan itu apa sih? Apakah perang itu selalu merupakan kekerasan? Bukankah ada juga yang bernama 'penjajahan intelektual', 'penjajahan budaya', 'penjajahan ekonomi'? Pantaskah kekerasan diukur melalui kegiatan fisik? Apakah perang itu jelek?
Dahulu bangsa Indonesia dijajah habis-habisan oleh Belanda, Inggris, Jepang, de es te. Lebih dari 350 tahun (bayangkan...) juta an orang hidup menderita di bawah lars kolonial.
Coba, andai saja tidak ada perlawanan (perang) terhadap penjajah, mau jadi apa bangsa ini? Akankah kita tetap bisa menghirup kemerdekaan?
Jika dahulu tidak muncul pejuang-pejuang macam Panglima Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, Cut Nyak Dien, dll., bisakah kita mulai membangun bangsa kita saat ini?
Perang memang menyakitkan. Nyawa-nyawa berguguran. Ibu kehilangan anak. Anak kehilangan bapak. Infrastruktur hancur lebur.
Namun jangan kira mereka bersedih lalu kecil hati. Mereka lebih memilih mati daripada harus hidup terjajah. Segalanya dipertaruhkan demi kemerdekaan. Karena harta dan nyawa tak sebanding dengannya.
Mereka berperang atas nama cinta. Cinta akan kemerdekaan, tanah air... Cinta akan kebenaran...
Berdiam diri atas suatu kebatilan adalah batil.
Karena itu seluruh bangsa Indonesia sepakat: MERDEKA ATAOE MATI!!
Umumnya, label-label di atas dinisbahkan kepada orang-orang yang menempuh jalan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Walaupun menurutku penisbahan label tersebut sangat tidak berimbang. Hanya kelompok-kelompok Islam tertentu yang selalu disebut seperti itu, sementara kelompok keras (non-Islam) yang lain sama sekali tidak disentuh...
Sayangnya lagi, kekerasan yang dilakukan oleh segelintir kelompok itu digeneralisir untuk mensifati kelompok yang lebih besar (baca: Islam). Padahal apabila benar kekerasan adalah sifat kelompok besar itu, niscaya dengan jumlah pengikut yang sangat memadai, peperangan terbuka pasti sudah terjadi merata di seluruh bumi. Dari sini tampak bahwa generalisasi stigma 'teroris' terlalu dipaksakan.
Sekarang bukan zamannya lagi menggunakan kekerasan. Masa kekerasan sudah lewat (seharusnya). Oleh sebab itu, peran dan kemampuan intelektual lebih diutamakan.
Akan tetapi, sebelum membahas lebih jauh. Be Te We, kekerasan itu apa sih? Apakah perang itu selalu merupakan kekerasan? Bukankah ada juga yang bernama 'penjajahan intelektual', 'penjajahan budaya', 'penjajahan ekonomi'? Pantaskah kekerasan diukur melalui kegiatan fisik? Apakah perang itu jelek?
Dahulu bangsa Indonesia dijajah habis-habisan oleh Belanda, Inggris, Jepang, de es te. Lebih dari 350 tahun (bayangkan...) juta an orang hidup menderita di bawah lars kolonial.
Coba, andai saja tidak ada perlawanan (perang) terhadap penjajah, mau jadi apa bangsa ini? Akankah kita tetap bisa menghirup kemerdekaan?
Jika dahulu tidak muncul pejuang-pejuang macam Panglima Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, Cut Nyak Dien, dll., bisakah kita mulai membangun bangsa kita saat ini?
Perang memang menyakitkan. Nyawa-nyawa berguguran. Ibu kehilangan anak. Anak kehilangan bapak. Infrastruktur hancur lebur.
Namun jangan kira mereka bersedih lalu kecil hati. Mereka lebih memilih mati daripada harus hidup terjajah. Segalanya dipertaruhkan demi kemerdekaan. Karena harta dan nyawa tak sebanding dengannya.
Mereka berperang atas nama cinta. Cinta akan kemerdekaan, tanah air... Cinta akan kebenaran...
Berdiam diri atas suatu kebatilan adalah batil.
Karena itu seluruh bangsa Indonesia sepakat: MERDEKA ATAOE MATI!!
0 comments:
Post a Comment