Worldview; Sebuah Pemahaman Awal

Friday, March 14, 2008
Seorang pemuda berjalan tertatih di pelataran kahyangan. “Seorang” ruh mengantarnya menghadap Dewa yang mengurusi kematian. Merasa ada yang aneh dengan pemuda tresebut, sang Dewa memicingkan mata. Tangannya sigap mengambil lembar catatan kematian, mencari nama orang asing itu.

Sejenak kemudian, mata sang Dewa terbelalak. Namanya tidak tercantum di daftar kematian, berarti dia masih hidup! Bagaimana mungkin seorang manusia hidup bisa mencapai alam kahyangan. Kahyangan gempar.

***

Di saat yang sama, kerajaan langit diobrak-abrik, Iblis bersama antek-anteknya bahu membahu menyusun kekuatan. Di sisi lain, para malaikat bersusah payah mempertaruhkan diri untuk mempertahankan gerbang kahyangan dari gempuran iblis di bawah pimpinan seorang Chuneen (pemimpin).

Keadaan menjadi semakin genting, perlahan gerbang langit pun bobol. Kahyangan dilanda panik. Para ruh yang menunggu peradilan lari tunggang langgang. Jika sampai ruh mereka dihancurkan iblis, mereka tak punya kesempatan untuk bereinkarnasi. Namun karena dahsyatnya serangan yang dilancarkan, korban pun berjatuhan.

Ruh malaikat berguguran, Chuneen –yang kebetulan diperankan oleh seorang wanita– tidak mampu berbuat banyak. Sang manusia hidup yang terseret ke alam ghaib akhirnya beraksi menyelamatkan Chuneen dan kahyangan.

(dari: Film The Restless)

***

Sekilas nampak lucu, bagaimana mungkin kahyangan bisa kebobolan setan. Lalu di mana otoritas dan superioritas Dewa selaku Tuhan? Mengapa ada Dewa yang tidak tahu menahu masalah penyusupan seorang manusia hidup di kahyangan? Bagaimana mungkin malaikat sebagai cermin kekuatan Tuhan bisa kalah, bahkan keselamatan kahyangan bergantung pada manusia?

Pertanyaan-pertanyaan di atas timbul karena kita menilai kejadian tersebut berangkat dari sudut pandang Islam. Dalam konsep Islam, Tuhan adalah sebuah Dzat yang Maha Segalanya. Superior dan bersifat mutlak. Laysa kamitslihi syai’un. Tidak ada satupun yang menyerupainya. Tuhan, surga dan neraka merupakan perkara ghaib, tidak mampu dijangkau oleh manusia dan tidak mungkin diketahui kecuali melalui wahyu.

Jika kacamata ini diaplikasikan, penggambaran yang dilakukan oleh sutradara film mengenai malaikat, dewa dan setan adalah hal yang rancu. Apalagi Islam tidak mengenal konsep reinkarnasi. Adegan-adegan film tersebut tak ubahnya lelucon kosong. Tak heran apabila ada yang melihatnya sambil –maaf– terbahak-bahak.

Padahal jika dilihat dari sudut pandang lain, poin-poin di atas boleh jadi dibenarkan oleh keyakinan sutradara beserta konsep-konsep yang turut di dalamnya. Bahkan sebaliknya, bagi mereka mungkin film tersebut justru mereka bisa mempertebal keyakinan.

Ternyata satu permasalahan bisa menimbulkan dua konklusi yang saling bertolakbelakang. Paradigma yang berbeda memproyeksikan suatu benda dengan bayangan yang berbeda pula. Berikut contoh dalam bidang kitab suci.

Wahyu dalam perspektif Kristen tidak lebih dari inspirasi yang diturunkan oleh Tuhan kepada para penulis Injil. Sedang tulisan Injil merupakan abstraksi subjektif mereka atas “inspirasi” tersebut. Mereka sebagai manusia tidak lepas dari pengaruh-pengaruh budaya, ideologi, pengetahuan serta lingkungan yang melingkupinya. Wahyu yang bersifat divine akhirnya menjadi profan.

Karena itu dapat dipahami apabila dalam Injil terdapat fakta-fakta yang kontroversial. Ditinjau dari segi rasionalitas ataupun korelasi antar ayat sendiri. Sebagaimana pernah diungkap oleh Maurice Bucaille dalam bukunya La Bible, le Coran et la Science. Akibatnya Bibel tidak bisa diinterpretasikan secara “mentah”. Subjektifitas penulis perlu dipisahkan dari substansi wahyu. Baru kemudian dicerna ulang sesuai konteks zaman dan ruang. Agar Bibel mampu eksis di tengah-tengah kontroversi.

Berbeda halnya dengan Kristen, konsep wahyu menurut Islam adalah lafzhan wa ma‘nan mina’lLâh, baik lafaz maupun artinya berasal dari Allah. Dengan kata lain, tidak ada campur tangan manusia dalam proses pembentukan wahyu. Kodifikasi sukses mengabadikan al-Quran dalam bentuknya yang paten. Karena itu, metode tafsir al-Quran tidak mengenal dikotomi teks-konteks, subjektif-objektif sebagaimana Kristen.

Apabila kedua konsep tersebut bercampur baur, muncullah produk-produk pemikiran yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Sebuah konsep Kristen apabila dinilai dengan sudut pandang Islam akan rancu. Begitu pula apabila konsep Islam dipandang dari kacamata Kristen. Aplikasi cara pandang yang sedemikian rupa pada akhirnya hanya akan merusak struktur sebuah keyakinan.

Permasalahan yang kita hadapi saat ini adalah infiltrasi pandangan hidup barat dalam relung-relung khazanah keilmuan Islam. Bukan lagi produk hukum yang diserang, akan tetapi sudah masuk pada ranah metode (minhaj). Tak heran apabila dalam beberapa kasus, terjadi kesimpulan hukum yang amat berbeda (baca: berseberangan) dengan jumhur ulama. Karena dibangun di atas epistemologi yang berbeda.

Akhirnya, aplikasi sebuah pandangan hidup (weltanschaaung) Islami merupakan sebuah hal yang mutlak bagi seorang muslim. Begitu juga karakter Islam. Agar kita dapat memahami lalu melaksanakan Islam secara kâffah. Wa’lLâhu a‘lam bi’s shawâb.

0 comments: