Tanafuz di Persimpangan Jalan

Monday, October 8, 2007
11 November 2006, tanggal bersejarah yang tak akan terhapus dari memori kita masing-masing. Memasuki bulan kesebelas —terhitung sejak kedatangan kita—, dengan mudah kita bisa menemukan nama rekan Tanafuz baik di IKPM sebagai almamater sekaligus induk Tanafuz, kekeluargaan, afiliatif, senat, PPMI dan beberapa organisasi lain. Ini menandakan bahwa personal Tanafuz bisa dibilang cukup mewarnai pergerakan di Masisir.

Jika kita menoleh ke belakang, Tazkia Fi nailil Fauz boleh dikata memiliki sejarah yang istimewa. Perdebatan alot yang menghiasi penamaan marhalah antara Tazkiyah dan Nailil Fauz menggambarkan motivasi masing-masing pihak (Lih.: Cakrawala Ed.I th.4). Mau ke mana dan apa yang mereka rencanakan untuk marhalah. Shakespeare dalam Hamlet-nya boleh saja bilang, apalah arti sebuah nama. Namun bagi orang yang mempunyai misi, dan tujuan, nama bisa menjadi barang fatal. Sebab menurut hemat penulis, nama mencerminkan keinginan dan tujuan final yang ingin dicapai. Dengan kata lain, saat terjun ke dalam organisasi marhalah ini, setiap personal Tanafuz mempunyai idealisme masing-masing untuk maju ke depan.

Selanjutnya, memelihara idealisme adalah tantangan bagi Tanafuz. Apalagi Tanafuz bisa dikata organisasi plural, anggotanya datang dari latarbelakang yang berbeda. Seperti angkatan kelulusan, pondok almamater, dan daerah. Tantangan pertama yang dihadapi adalah menyatukan sekian banyak suara dan jangan sampai idealisme tersebut diseret kepada kepentingan unsur tertentu. Namun dengan perkumpulan bulanan sebagai ajang silaturrahim dan sosialisasi program sekaligus penyamaan persepsi, keluarga Tanafuz yang plural bisa disatukan, tidak tersekat-sekat dalam kotak sempit, lalu berjalan terseok dan jatuh.

Waktu berlalu dan dinamitas Tanafuz berdetak kencang. Terhitung sejak liburan musim panas dimulai hingga sekarang, beberapa acara yang diadakan dari level almamater, kekeluargaan, hingga masisir sedikit banyak melibatkan anggota Tanafuz, langsung maupun tak langsung.

Dinamitas ini membuka potensi bagi Tanafuz untuk menjadi lebih daripada sekedar marhalah. Keakraban dan kemiripan kultur menjadi keunggulan tersendiri untuk menjalin harmoni lintas kekeluargaan, afiliatif, almamater, dan senat. Tinggal bagaimana kita membangun sinergi antar organisasi —lintas kekeluargaan, lintas afiliatif— demi kepentingan yang lebih besar lagi. Hingga akhirnya tercipta sebuah harmoni umum dalam skup yang luas.

Sebaliknya, derasnya gerakan Tanafuz sedikit banyak memecah konsentrasi personelnya. Kekhawatiran mulai muncul takut-takut kalau marhalah tidak bisa selancar tahun ini. Hal tersebut bisa diraba, terbukti dalam beberapa agenda belakangan panitia agak susah dikumpulkan. Padahal anggota IKPM terkenal paling loyal.

Ada beberapa faktor yang memicu terjadinya fenomena ini. Di antaranya, masing-masing mulai memikirkan masa depan dan memilih medium untuk berkembang. Sejalan dengan apa yang dipahami dari dan mengenai ego (jati diri). Pondok juga mengenalkan kita kepada “jaros”, agar para santrinya sadar, harga hidup tidak semurah “sekedar” mengikuti arus atau formalitas. Mental-mental li ajli inilah yang selalu diberantas oleh pondok. Salah satu adagium yang masih saya rekam baik-baik, “jangan hanya ikut jaros”.

Marhalah sebagai organisasi juga tidak bijak apabila bersikap egois. Yaitu dengan membakukan anggotanya dalam satu bentuk. Sebab fungsi utama marhalah sendiri adalah tempat untuk silaturahim. Toh tidak mungkin suatu organisasi—apapun itu—bisa mengakomodir semua kebutuhan seluruh anggotanya. Di sinilah perlu adanya pengertian untuk saling “berbagi”.

Namun di sisi lain, hendaknya sense of belonging (rasa kepemilikan) terhadap marhalah harus tetap dijaga. Mengingat kesibukan setiap individu yang semakin kompleks dan semakin menjurus pada spesialisasi masing-masing, bukannya tidak mungkin marhalah tersisih. Oleh karena itu, setidaknya kegiatan yang mempu mengikat emosi anggota seperti perkumpulan bulanan, sepakbola, dan musik dipertahankan menjadi agenda tetap marhalah ke depan.

Akhirnya, eksistensi Tanafuz kembali pula kepada figur pemimpinnya. Hari ini Sabtu, 6 Oktober 2007 di Griya Jawa Tengah, Tanafuz memasuki momen yang krusial dan menentukan dalam perjalanannya sebagai marhalah. Kesalahan mengambil keputusan bisa saja berdampak fatal di kemudian hari. Tanafuz akan semakin maju atau justru berakhir.

Mungkin tulisan ini terlalu muluk, atau terlampau dangkal dalam menganalisa permasalahan. Namun paling tidak bisa menjadi stimulan kita agar bisa berbuat lebih banyak. I‘malû fawqa mâ ‘amilû. Wa’lLâhu a‘lamu bi’s shawâb.

*Tulisan dimuat di Buletin Cakrawala edisi terakhir, Oktober 2007.

1 comments:

Anonymous said...

Oi, achei seu blog pelo google está bem interessante gostei desse post. Gostaria de falar sobre o CresceNet. O CresceNet é um provedor de internet discada que remunera seus usuários pelo tempo conectado. Exatamente isso que você leu, estão pagando para você conectar. O provedor paga 20 centavos por hora de conexão discada com ligação local para mais de 2100 cidades do Brasil. O CresceNet tem um acelerador de conexão, que deixa sua conexão até 10 vezes mais rápida. Quem utiliza banda larga pode lucrar também, basta se cadastrar no CresceNet e quando for dormir conectar por discada, é possível pagar a ADSL só com o dinheiro da discada. Nos horários de minuto único o gasto com telefone é mínimo e a remuneração do CresceNet generosa. Se você quiser linkar o Cresce.Net(www.provedorcrescenet.com) no seu blog eu ficaria agradecido, até mais e sucesso. (If he will be possible add the CresceNet(www.provedorcrescenet.com) in your blogroll I thankful, bye friend).