“Jangan jadi seorang utopis. Itu kan cuma ada dalam khayalan. Tidak mungkin terjadi di sini. Khayalan memang selalu indah, Lynd.”
“Apa berkhayal itu salah? Aku sudah cukup muak dengan musim dingin. Mungkin menurutmu khayalan tak berguna. Namun sebagian orang lebih suka hidup dalam khayalan. Bagi mereka, kenyataan terlalu pahit. Hidup tak semudah yang kau bayangkan, Lex.”
“Lalu jika khayalanmu tidak kau dapatkan, apa yang kau perbuat?”
Lynd tertegun sejenak. Dengan wajah tertunduk ia menjawab singkat, “Pergi…”.
“Lalu, jika tak kau dapatkan lagi. Kau akan pergi lagi dan lagi? Sampai kapan kau akan terus lari dari kenyataan, Lynd. Menyingkir dari hidup…”
“Sudah, cukup!” tukasnya. “Aku terlalu sering mendengar ocehan serupa. Hampir setiap orang. Akhirnya mereka hanya bisa berbicara dan berbicara sampai mulut mereka berbusa. Tapi pahitnya kenyataan tak berubah, Lex!”
“Tapi kita harus realistis, Lynd. Memandang hidup yang sebenarnya…”
“Khayalan adalah jawaban yang paling realistis, Lex!”
“Ingat itu…” kata Lynd menangis sesenggukan. Ia kemudian masuk ke kamarnya. Meninggalkanku terpaku di depan tungku.
Yah… Aku tak habis pikir, sebegitu mudahkah mereka meninggalkan rumah ini. Hanya karena dingin. Hidup tanaman pun tak lagi dihiraukan. Udara terlalu dingin, kata mereka.
Mengapa tidak berusaha menghangatkannya?
Cklek… pintu kamar Lynd terbuka. Ia berdiri mengenakan jaket bulu kesayangannya. Jaket bulu pemberian bibinya. Tangan kirinya menggenggam tali koper. “Aku pergi…”, putusnya.
Aku terdiam. Benarkah yang kudengar. Bahkan, keceriaan Lynd pun tak mampu membuatnya bertahan.
“Jaga dirimu baik-baik, Lex”
Aku tak kuasa bergerak. Aku kehilangan senyum terakhirku. Senyum Lynd. Pandanganku kabur. Air mulai menetes di sudut mata. Matt… Lynd…
TIDAK! Aku buka mataku. Memoriku terus memutar peristiwa hari mengerikan itu, berulang-ulang. Seminggu ini pula hidupku diteror mimpi buruk. Sebuah episode penuh kebekuan, emosi, dan prasangka.