Di kalangan masisir, marak penggunaan kata-kata ilmiah. Seperti kata-kata kodifikasi, kanonisasi, dan sebagainya. Kata-kata tersebut hampir bisa kita dapati di berbagai buletin. Baik yang berorientasi sosial seperti Informatika atau Terobosan. Maupun yang bersifat studi normatif-analitis, seperti Sinar Muhammadiyah dan Afkar.
Memang kata-kata ilmiah tersebut digunakan sebagai ungkapan atas istilah-istilah tertentu dalam bidang tertentu pula. Kata ilmiah juga berfungsi sebagai penanda. Dan umumnya, orang awam tidak menggunakan kata ilmiah karena memang mereka tidak mendalaminya. Berarti maraknya penggunaan kata ilmiah dalam masisir bisa kita katakan sebagai indikator keilmuan masisir.
Namun dalam beberapa kasus, terjadi kecerobohan dalam penggunaaan kata ilmiah tersebut. Sebagai dampaknya, pembaca bisa salah mengartikan atau minimal tidak memahami arah tulisan. Dalam Informatika dua-tiga edisi lalu, ditulis tentang tajdid. Sayang kata tajdid di sini disejajarkan dengan kata reformasi. Lalu jika kata tersebut disandingkan dengan agama menjadi tajdid agama atau reformasi agama.
Tajdid sangat berbeda dengan refomasi agama. Tradisi tajdid dalam Islam tidak menyentuh hal-hal mendasar dalam agama. Seperti masalah ketuhanan, akidah, dan prinsip-prinsip dasar syariat. Tapi reformasi mengandung pengertian yang berbeda. "Re" berarti pengulangan, dan "formasi" adalah struktur atau tatanan. Jadi reformasi agama merupakan perombakan struktur dalam agama.
Namun perombakan struktur tidak dilegitimasi dalam ajaran Islam. Merombak struktur sebuah keyakinan berarti merubah hirarki yang ada. Sedang wujud hirarki mengisyaratkan adanya tingkatan otoritas. Jika otoritas tersebut dirubah, boleh jadi yang semula berada di puncak, menjadi di bawah, atau sebaliknya. Celakanya, otoritas tertinggi dalam Islam berada dalam genggaman Allah Swt. Maka sejatinya reformasi keagamaan dalam Islam adalah sebuah kerancuan. Muhammad Iqbal sendiri lebih memilih kata rekonstruksi daripada reformasi untuk menerjemahkan tajdid. (lih. "Reconstruction of Religious Thought in Islam" – "Tajdîd al-Tafkîr al-Dînî fî al-Islâm").
Jika dirunut melalui kacamata sejarah, kata "Reformation" pertama kali dilontarkan oleh Martin Luther (pendiri Kristen Protestan) melalui gerakan pembaharuan di kalangan Gereja Eropa abad ke-16. (lih. http://id.wikipedia.org/wiki/Reformasi). Bahkan jika anda mencari entry "reformation" di Wikipedia, halaman yang terpampang bukannya sebagai gerakan sosial, namun reformasi dalam keyakinan Gereja (lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Protestant_Reformation).
Oke, katakan saja sang penulis memang berselisih pendapat dengan saya, dan benar-benar mengartikan Tajdid sebagai reformasi (layaknya Martin Luther). Sayangnya, dalam artikel tersebut tidak ditemukan indikasi yang menunjukkan tajdid dalam artian reformasi. Hal ini merupakan keanehan. Hingga muncul pertanyaan, apakah penulis menggunakan kata tersebut memang berdasarkan alasan ilmiah, ataukah hanya sebagai pemanis tulisan. Jika memang alasan ilmiah, mengapa tidak ada arti padanan yang pas? Dan jika memang digunakan agar tulisan kelihatan berbobot, maka telah terjadi kecelakaan.
Bagaimanapun juga, saya tidak bisa menyimpulkan motivasi pribadi sang penulis (atau boleh jadi sang editor?). Saya di sini tidak bermaksud melarang penggunaan istilah ilmiah, juga tidak bermaksud membatasi. Hanya saja prihatin akan penggunaan istilah ilmiah yang tidak tepat, apalagi yang cuma "asal keren". Karena bobot tulisan bukan dinilai dari banyaknya isme-isme yang dikandung… wa'Llâhu a‘lamu bi's shawâb.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
Ada Dua KOmen nih..
1. Ko Cakrawala ga disebutin sih ? heheh...
2. Ulasannya lengkap, tapi terkesan buru-buru. (ini menurut ane lho..)
Anyway, bagussss !!! Two Thumbs Up !
Keep writing...
Dari seorang pemula...Hehee...
Post a Comment