MEMAKNAI PENGHAMBAAN

Thursday, December 11, 2008
Bismillahirrahmanirrahim

Siapakah manusia?

Manusia adalah hamba Allah Swt., ia diciptakan dari segumpal tanah. Dan tujuan utama Allah Swt. menciptakan makhluk bernama manusia adalah agar ia menyembah-Nya. “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56-57)

Kalimat-kalimat di atas sudah sangat akrab di telinga kita. Berulang kali para dai tak bosan-bosan mendengungkan ayat-ayat dan himbauan untuk selalu mengingat hakikat manusia. Apakah manusia itu? Mengapa ia ada? Dan bagaimana? Untuk apa ia ada? Sampai kapan ia ada?

Tak semua pertanyaan-pertanyaan tersebut mampu dijawab oleh logika dan sains. Pada taraf tertentu, seorang manusia harusnya selalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Untuk apa ia hidup? Apakah ia hidup hanya untuk mati? Ataukah ia hidup untuk mengulangi siklus yang sama dengan hewan dan tumbuhan (lahir-bereproduksi-mati)? Adakah misi yang lebih tinggi yang harus dijalankan? Mengapa ia mengerjakan pekerjaan tersebut?

Kedudukan Manusia
Manusia tidak diciptakan begitu saja. Berawal dari kisah penciptaan, manusia telah mendapatkan berbagai penghargaan yang luar biasa dari Allah Swt.

Pertama, Setelah terciptanya Adam, malaikat dan iblis diperintahkan oleh Allah Swt.untuk bersujud kepada-Nya. Sujud ini bukan berarti sujud beribadah akan tetapi simbol kemuliaan manusia. Bahkan malaikat yang tak berdosa pun diperintahkan pula untuk bersujud pada manusia yang mempunyai nafsu.

Kedua, manusia mendapat kehormatan untuk menjadi khalifah Allah di bumi. Allah telah menciptakan bumi dengan segala isinya untuk maslahat manusia. “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi serta menurunkan air (hujan) dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan kehendak-Nya; dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagimu. Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus menerus beredar (dalam orbitnya) dan telah menundukkan malam dan siang bagimu.” (Q.S. Ibrahim: 32-33)

Ketiga, untuk mendukung tugasnya tersebut, Allah Swt. mengkaruniakan akal dan pengetahuan yang tak Ia berikan pada makhluk selain manusia. Mari kita simak kisah penciptaan manusia, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi’. Mereka berkata, ‘apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kamu bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya. Kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, ‘sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!’ Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kamu ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana” (Q.S. al-Baqarah: 30-32)

Menyadari Keberadaan Sang Pencipta
Walaupun telah dianugerahi penghargaan-penghargaan tersebut, sayangnya manusia sering lupa akan asalnya. Di sinilah Allah Swt. telah mengisyaratkan pada manusia untuk selalu bertadabbur, merenungi ciptaan-Nya di alam ini. Tak usah jauh-jauh menyelidiki keajaiban dan kedahsyatan penciptaan hingga melacak sisa gelombang radiasi Big Bang yang terjadi trilyunan tahun lalu atau mempelajari struktur DNA yang rumit. Kita bisa mulai dari kejadian-kejadian sederhana di sekitar kita.

Ketika hari hujan, pernahkah kita berpikir, mengapa air turun ke bawah? Jikalau Allah Swt. berkehendak bukannya tak mungkin air hanya mengambang di udara. Mengapa hujan turun berupa titik-titik? Jikalau Allah Swt. berkehendak, bukannya tak mungkin hujan turun bak air dalam ember yang ditumpahkan. Tentu hanya kerusakan dan kehancuran yang terjadi. Berawal dari tetesan air, udara dan tanah yang sama, mengapa rasa pisang berbeda dengan mangga? Mengapa pula bunga berwarna-warni? Mengapa kambing jinak? Mengapa daging sapi bisa dimakan? Mengapa, mengapa dan seterusnya.

Dalam surat al-Rahman, Allah Swt. telah menyindir manusia yang sering kufur nikmat. Ayat “Fabi ayyi âlâ’i rabikumâ tukadzdzibân” yang berarti “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dsustakan?” diulangi dengan redaksi yang sama persis sebanyak 31 kali. 31 dari 78 ayat, nyaris setengah surat mengulang kalimat yang sama. “…Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” (Q.S. Ibrahim: 34).

Harta adalah titipan dari Allah Swt., seperti yang pernah dikatakan oleh KH Hasan Abdullah Sahal, salah satu pimpinan pondok modern Darussalam Gontor, “Tidak ada orang kaya di dunia ini. Yang ada hanya orang yang merasa dirinya kaya”. Begitu pula dengan kedudukan, kepandaian, muka yang rupawan, kehidupan, kesehatan, semuanya adalah anugerah Allah Swt yang dititipkan pada manusia. Jikalau Allah berkehendak, Allah bisa saja mengirimkan banjir, menebar penyakit, mencabut nyawa kita detik ini juga, dengan cara yang barangkali tak pernah kita sangka.

Karena itu bagaimana kita menggunakan dan memanfaatkan karunia tersebut sebagai wujud rasa syukur. Karena syukur bukan hanya ucapan hamdalah, syukur bukan hanya ucapan terima kasih pada-Nya. Tapi syukur juga tergambar dalam perbuatan. Bagaimana kita menggunakan kesehatan kita, uang kita, tangan kita, kaki kita, tetap bertujuan utama beribadah kepada-Nya. (Di samping tujuan sekunder yang lain yang sejalan)

Kita belajar, untuk apa kita belajar? Untuk menuntut ilmu. Mengapa kita menuntut ilmu? Karena Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk menuntut ilmu, bahkan Allah Swt. meninggikan kedudukan orang-orang yang berilmu dan beriman beberapa derajat. Kita bekerja keras siang malam, untuk apa? Untuk menghidupi keluarga. Mengapa? Karena Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk berlaku ihsan terutama kepada keluarga., karena Allah Swt. menetapkan anak-anak sebagai tanggungan orang tua, dan sebagainya.

Segala yang kita kerjakan, dimanapun, kapanpun, dengan siapapun, orangtua, sanak saudara, teman sejawat, suami atau istri, guru atau murid, pada hakikatnya adalah wasilah untuk mencapai keridhaan-Nya.

Jikalau cara pandang kita terhadap alam dan kehidupan sudah terfokus pada Allah Swt semata, ujian dan cobaan yang datang dapat ditempuh dengan lebih mudah. Kegembiraan dan kesedihan adalah cobaan, apakah manusia bersyukur atas kegembiraannya ataukah kufur? Akankah manusia berpaling dari Allah Swt., ketika musibah menerjangnya, ataukah semakin mendekatkan diri pada-Nya?

Kaya miskin, pendek tinggi, akankah kelebihan yang dikaruniakan membuat manusia bersyukur, semakin menundukkan hatinya kepada Sang Maha Pemberi Nikmat, ataukah menjadikannya takabbur? Segala keberhasilan dalam pekerjaan dan perbuatan kita sejatinya tercapai dengan izin Allah Swt. Sungguh sombong manusia yang mengira semua diraih oleh jerih payahnya semata. Jikalau Allah Swt. berkehendak, tidak mustahil kita hanya menorehkan kegagalan dan kesia-siaan.

Pada akhirnya, fenomena yang terjadi pada diri kita hanyalah cobaan dengan tanda tanya besar, apakah kita masih mengingat-Nya? Sang Arsitek manusia, alam dan kehidupan. Masihkah kita sadar bahwa kita adalah hamba-Nya? Wa’lLâhu a‘lam bi al-shawâb.


Thu, 11dec08, 11:15:26
Rabea el-Adawea
Allâhumma innaka ‘afuwwun karîm tuhibbu’l ‘afwa fa‘fu ‘annî ...

4 comments:

Irfan Wahid said...

Perenungan yang dalam.
Senang membacanya ...

Merasa kembali menjadi 'hamba'

Na said...

Membaca postingan ini berasa mnyejukkan,.. Membuat diri kembali merenungi tujuan hidup dan menelaah kembali perjalanan yg sdh dlewati, smg kdepan jd lbh baik.. Amien..

nggapriel said...

@ L-H

Sama-sama :)

@ IsNa

Makasih komennya ya :)

Alhamdulillah

Anonymous said...

wah pak pimred kita ini...dasar anak akidah keren banget tulisan ketuhanannya he..he.:D btw link ane kok g nyampe ke situs ente ngga???